Kamis, 31 Oktober 2013

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FLAVONOID PADA DAUN KATU

Senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak etanol 95% daun katu diisolasi dengan menggunakan metode Charaux-Paris. Dilakukan fraksinasi ekstrak etanol 95% dengan menggunakan pelarut kloroform, etilasetat dan 3 kali dengan n-butanol, kemudian dari fraksi n-butanol I dilakukan isolasi flavonoid dengan cara kromatografi kertas
preparatif dan diidentifikasi dengan spektrofotometer Ultra Violet (UV) dan infrared. Enam senyawa flavonoid berhasil diisolasi, setelah diidentifikasi salah satu senyawa flavonoid tersebut adalah rutin sedangkan 5 senyawa lainnya adalah golongan flavonol OH-3 tersulih atau golongan flavon.
Metode Penelitian
Tanaman katu (Sauropus androgynus (L.) Merr. yang diambil dari kebun budidaya PT. Kimia Farma Bandung dideterminasi di Balai Penelitian dan Pengembangan Botani Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI Bogor. Sejumlah 1 gram serbuk bahan ditambah 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring, filtrat digunakan sebagai larutan percobaan.
Ke dalam 5 ml larutan percobaan ditambahkan sedikit serbuk magnesium, 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil-alkohol, dikocok dengan kuat dan dibiarkan memisah. Terbentuknya warna jingga atau merah jingga pada lapisan amil-alkohol menunjukkan adanya senyawa flavonoid [1,9]. Daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr. diambil dari dari tanaman yang terdapat di kebun budidaya PT. Kimia Farma Bandung, pada waktu tumbuhan tersebut sedang berbunga. Setelah dibersihkan dari bagian tumbuhan lain, dari bahan organik asing dan pengotor lainnya, daun dikeringkan secara alami di udara dengan tidak dikenai sinar matahari langsung, kemudian digiling dan diayak dengan ayakan nomor 6, sehingga diperoleh serbuk dengan derajat kehalusan tertentu [10]. Ekstraksi dilakukan secara maserasi bertingkat dengan menggunakan pelarut mula mula n-heksana kemudian etanol 95%. Sejumlah 1 kg serbuk kering daun katu pertama-tama diekstrasi dengan n-heksana berkali-kali sampai filtrat jernih. Ampas dikeringkan kemudian diekstraksi dengan etanol 95% berkali-kali hingga filtrat jernih. Masing-masing ekstrak dipekatkan dengan penguap putar vakum sehingga diperoleh ekstrak kental [10]. Pada penelitian ini yang digunakan adalah ekstrak etanol..
Isolasi senyawa flavonoid dikerjakan dengan metode Charaux-Paris. Ekstrak pekat etanol dilarutkan dalam air panas, disaring kemudian diekstraksi dengan n-heksana, fraksi n-heksana dikumpulkan dan di pekatkan, diperoleh fraksi n-heksana pekat. Fraksi air diekstraksi dengan kloroform, fraksi kloroform dikumpulkan dan dipekatkan diperoleh fraksi kloroform pekat. Fraksi air diekstrasi lagi dengan etil asetat, fraksi etil asetat dikumpulkan dan dipekatkan, diperoleh fraksi etil asetat pekat. Kemudian fraksi air diekstraksi dengan n-butanol, fraksi n-butanol dikumpulkan dan dipekatkan, sehingga diperoleh fraksi n-butanol pekat. Ekstraksi dengan n-butanol dilakukan 3 kali, setiap kali dengan pelarut n-butanol yang baru, sehingga diperoleh fraksi n-butanol I, fraksi n-butanol II dan fraksi n-butanol III. 

Untuk melihat profil kromatografi dari setiap fraksi. digunakan cara kromatografi kertas. Masing-masing fraksi ditotolkan pada kertas Wathman no. 1, dielusi menggunakan cairan pengembang n-butanol - asam asetat – air (60 : 22 : 1,2 ) [1,9,11].
Setelah diketahui bahwa fraksi yang mengandung jenis flavonoid terbanyak adalah fraksi n-butanol I, maka dilakukan isolasi senyawa flavonoid dengan cara kromatografi kertas preparatif. Masing-masing pita kromatogram dipisahkan, dipotong kecil-kecil dan diekstraksi dengan metanol. Untuk pemurnian isolat dilakukan pengembangan kedua secara kromatografi kertas preparatif. Setiap pita kromatogram yang diperoleh kemudian diekstraksi dengan metanol, sehingga diperoleh beberapa isolat dari senyawa flavonoid. Identifikasi senyawa golongan flavonoid dilakukan dengan mengamati warna fluoresensi di bawah sinar ultraviolet sebelum dan sesudah penambahan uap amonia terhadap bercak isolat yang diperoleh [3,8].
Kemudian dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet dilihat geseran batokromik setelah setiap isolat dalam larutan metanol diberikan pereaksi geser natrium hidroksida, aluminium klorida, asam klorida, natrium asetat, dan asam borat secara bergantian. Dengan melihat geseran batokromik tersebut dapat diidentifikasi jenis flavonoid [3,8].
Dilakukan juga pembuatan spektrum derivatisasi dengan menggunakan spektrofotometer UV dan dibuat spectrum inframerah terhadap 2 (dua) isolat untuk lebih meyakinkan hasil identifikasi.
Hasil dan Pembahasan
Dari proses isolasi terhadap fraksi n-butanol dengan menggunakan cairan pengembang I, didapatkan 5 (lima) bercak senyawa flavonoid yang mempunyai Rf 0.22, 0,29, 0,37, 0,48 dan 0,60. Bercak dominan adalah yang mempunyai Rf 0.37 dan 0,48. Setelah dilakukan pemurnian dengan pengembangan ke II terhadap isolat, diperoleh bercak baru dengan Rf 0,51 yang berasal dari pemisahan bercak yang mempunyai Rf 0.37. Bercak yang diperoleh kemudian diberi kode sebagai berikut:
Bercak dengan Rf. 0,37 : SA-DE-1,
Bercak dengan Rf. 0,48 : SA-DE-2,
Bercak dengan Rf. 0,22 : SA-DE-3,
Bercak dengan Rf. 0,29 : SA-DE-4,
Bercak dengan Rf. 0,51 : SA-DE-5,
Bercak dengan Rf. 0,60 : SA-DE-6.
Setelah dilakukan identifikasi pendahuluan terhadap setiap isolat senyawa golongan flavonoid yang dilakukan dengan mengamati warna fluoresensi di bawah sinar ultra-violet sebelum dan sesudah penambahan uap amonia, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet untuk melihat geseran batokromik setelah direaksikan dengan pereaksi tertentu. Dari hasil analisis tersebut dapat diberikan pembahasan sebagai berikut:
Hasil pemeriksaan pendahuluan pada senyawa ini mengarah pada glikosida flavonol dengan OH-3 tersubstitusi dan mempunyai OH-4’, atau flavon dengan OH-5, atau flavanon dengan OH-5 atau kalkon tanpa OH pada cincin B. Hal ini didasarkan pada bercak berwarna ungu gelap di bawah sinar UV, dan warna tersebut berubah menjadi kuning setelah direaksikan dengan uap ammonia. Dalam larutan metanol senyawa ini memberikan 2 serapan maksimum yaitu pita I 358,0 dan pita II 258,0 sehingga menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah flavon atau flavanon. Adanya pundak pada serapan maksimum pita II menunjukkan adanya 2 atau lebih atom O pada cincin B. Dengan penambahan natrium hidroksida serapan maksimum pita I menjadi 413,0, terjadi pergeseran batokromik 55 nm dan tanpa disertai penurunan intensitasnya, hal ini menunjukkan adanya OH-4’ bebas. Terbentuknya pita baru dengan serapan maksimum 333 menunjukkan adanya OH-7 bebas. Jadi senyawa tersebut mengarah ke flavonol bukan kalkon. Dengan penambahan natrium asetat serapan maksimum pita II bergeser 15 nm tanpa penurunan intensitas, hal ini semakin memperkuat adanya OH-7 bebas, dengan penambahan asam borat pada larutan natrium asetat serapan maksimum pita I bergeser sebesar 22 nm, hal ini menunjukkan adanya ortodihidroksi ada cincin B. Penambahan aluminium klorida mengakibatkan pergeseran batokromik serapan maksimum pita I sebesar 53 nm, ini menunjukkan adanya OH-5 bebas tanpa oksigenasi pada posisi 6 dan pergeseran berkurang pada penambahan asam klorida untuk pita I menunjukkan gugus ortodihidroksi. Dari data tersebut di atas, maka senyawa tersebut mengarah pada struktur flavonol OH-3 tersubstitusi, dengan OH pada posisi atom C nomor 5, 7, 4’, 5’, dan dengan melihat hasil derivatisasi dan spektrum inframerah maka senyawa SA-DE-1 mengarah pada struktur senyawa rutin.. Hasil pemeriksaan pendahuluan isolat SA-DE-2 dengan melihat bercak berwarna ungu gelap dibawah sinar UV dan berubah menjadi kuning dengan uap amonia, serta adanya serapan maksimum pita I 348,0 nm dan pita II 267,0 nm dalam metanol, maka senyawa ini mengarah pada struktur flavonol OH-3 tersubstitusi atau kalkon. Dengan penambahan natrium hidroksida, serapan maksimum pita I bergeser batokromik sebesar 53 nm menjadi 401,0 nm tanpa pengurangan intensitas, hal ini menunjukkan adanya OH-4’ bebas. Terbentuknya pita baru dengan serapan 326 nm menunjukkan adanya OH-7 dan senyawa tersebut mengarah pada flavonol OH-3 tersubstitusi. Terjadinya pergeseran batokromik pita II sebesar 5 nm pada penambahan natrium asetat juga menunjukkan adanya OH-bebas. Pergeseran lebih kecil pada penam-bahan natrium asetat dan asam borat pada pita I menunjukkan adanya orto dihidroksi pada cincin A (dapat 6,7 atau 7,8). Pergeseran batokromik pita I sebesar 50 nm pada penambahan aluminium klorida dan asam klorida menunjukkan adanya OH-5 bebas, tanpa oksigenasi pada 6.
Dari data spektrum ultraviolet tersebut, senyawa SA-DE-2 mengarah pada struktur flavonol OH-3 tersubstitusi dengan OH pada posisi atom C nomor 5, 7, 8 dan 4’. Puncak-puncak spektrum inframerah dari senyawa tersebut memberikan petunjuk adanya gugus OH (3400 cm-1 ), gugus ester C=O pada 1660 cm-1 dan C=O flavonoid 1600 cm-1. Gugus-gugus tersebut merupakan gugus utama flavonoid.
Melihat data spektrum inframerah dan ultraviolet belum cukup memberikan arah untuk menentukan jenis senyawa isolate SA-DE-2. Reaksi pendahuluan untuk senyawa SA-DE-3 memperlihatkan sebagai bercak berwarna ungu gelap di bawah sinar ultraviolet, setelah diberikan uap amonia bercak tersebut mengalami perubahan sedikit. Dalam metanol puncak serapan pita I 346 nm dan pita II 267 nm, hal ini mengarahkan pada golongan flavon, flavonol OH-3 tersubstitusi atau Kalkon. Pada penambahan natrium hidroksida puncak serapan pita I bergeser batokromik menjadi 399 nm dan mempunyai puncak intensitas yang tidak menurun, hal ini menunjukkan adanya OH-4’ bebas. Pada penambahan natrium asetat terjadi pergeseran batokromik pita II 3 nm dan intensitas tidak menurun, hal ini menunjukkan adanya OH-7 dan mungkin adanya oksigenasi pada atom C nomor 6 atau 8 Penambahan aluminium klorida dan asam klorida tidak terjadi perubahan pada pita I, kemungkinan ada OH-5 dengan gugus prenil pada 6. Dari data spektrum ultraviolet tersebut, maka senyawa SA-DE-3 mengarah pada struktur flavonol OH-3 tersubtitusi dengan substitusi OH pada atom C nomor 5, 7, 4’ dan mungkin gugus prenil pada atom C nomor 6 dan oksigenasi pada atom C nomor 8.
Hanya dengan melihat data spektrum ultraviolet, belum dapat memberikan arah untuk identifikasi jenis senyawa SA-DE-3. Dalam larutan metanol senyawa ini memberikan serapan pita I 344 nm dan pita II 269 nm. Dengan melihat bercak ungu gelap di bawah sinar ultra violet dan berubah menjadi hijau kuning setelah diberikan uap amonia, maka senyawa ini mengarah pada flavon, kalkon atau flavonol. Pada penambahan natrium hidroksida terjadi pergeseran batokromik pita I sebesar 62 nm dan tanpa penurunan kekuatan, sehingga menunjukkan adanya OH-4’. Penambahan natrium asetat menunjukkan adanya OH-7 dan mungkin ada oksigenasi pada 6 atau 8, ini dapat dilihat dengan adanya pergeseran pita II kurang dari 5 nm. Pergeseran batokromik 4 nm pada pita II dengan adanya penambahan natrium asetat dan asam borat menunjukkan adanya orto dihidroksi pada cincin A (6, 7 atau 7, 8). Tidak berubahnya serapan maksimum pita II dengan penambahan aluminium klorida dan asam klorida menunjukkan kemungkinan adanya OH-5 dengan gugus prenil pada atom C nomor 6.
Dari data spektrum ultraviolet tersebut senyawa SA-DE-4 mengarah ke senyawa flavonol dengan OH-3 tersubstitusi dan substitusi OH terdapat pada posisi atom C nomor 5, 7, 8, 4’, dan kemungkinan ada gugus prenil pada atom C nomor 6. Senyawa SA-DE-5 mempunyai pola spektrum ultraviolet yang sama dengan SA-DE-4, jadi kemungkinan kedua senyawa tersebut mempunyai struktur yang mirip hanya perbedaannya pada SA-DE-5 mempunyai ortho-dihidroksi pada cincin B, hal ini terlihat adanya pergeseran batokromik 15 nm pada pita I setelah penambahan natrium asetat dan asam borat. Dalam larutan metanol senyawa ini memberikan serapan maksimum pita I 346 nm dan pita II 268 nm. Warna bercak ungu gelap di bawah sinar ultraviolet dan berubah sedikit bila diberikan uap amonia. Dari data tersebut senyawa ini mengarah kepada struktur flavon, flavonol OH-3 tersubstitusi atau khalkon. Tetapi dengan adanya OH-7 (terlihat dengan adanya pergeseran batokromik pita II setelah penambahan natrium asetat), maka senyawa tersebut mengarah ke flavonol OH-3 tersubstitusi atau flavon. Pada penambahan natrium hidroksida maka terjadi pergeseran batokromik pita I dan tidak terjadi penurunan intensitas sebesar 53 nm, hal ini menunjukkan adanya OH-4’ bebas. Tidak terjadinya perubahan serapan maksimum Pita I pada penambahan aluminium klorida dan asam klorida menunjukkan kemungkinan adanya OH-5 dengan gugus prenil pada posisi atom C nomor 6. Dari data spektrum tersebut, maka senyawa SA-DE-6 mengarah pada struktur flavon atau flavonol OH-3 tersubstitusi, dengan substitusi OH pada atom C nomor 5, 7, 4’ dan kemungkinan dengan gugus prenil pada atom C nomor 6.
Kesimpulan
Enam senyawa flavonoid telah berhasil diisolasi dari daun katu dari ekstrak etanol 95%. Setelah dilakukan identifikasi salah satu senyawa flavonoid tersebut adalah rutin, sedangkan 5 senyawa lainnya mengarah kepada golongan flavonol OH-3 tersulih, atau golongan flavon. Senyawa rutin dapat digunakan sebagai zat identitas untuk daun katu. Disarankan untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut terhadap senyawa flavonoid yang telah berhasil diisolasi, dengan menggunakan peralatan yang lebih canggih.

Permasalahan :
Dari kesimpulan artikel diatas disebutkan bahwa salah satu seenyawa flavonoid yang teridentifikasi adalah senyawa rutin, apakah yang dimaksud dengan senyawa rutin?

Dan disebutkan juga bahwa ada 6 senyawa flavonoid yang berhasil diisolasi dari daun katu dari ekstrak etanol 95%. Apakah 6 senyawa flavonoid itu? Dan apa bukti 6 senyawa itu adalah hasil dari isolasi tersebut?

Jumat, 18 Oktober 2013

PENENTUAN STRUKTUR TERPENOID

METODE
Penentuan spektroskopi inframerah (IR) suatu senyawa hasil isolasi diukur dengan menggunakan alat spektrometer Buck Scientific M500. Spektrum 1H dan 13C NMR diukur dengan menggunakan spektrometer JEOL JNM-ECA500 NMR, beroperasi pada 500 MHz (1H) dan 125 MHz (13C), menggunakan pelarut sebagai standar internal. Kromatografi cair vakum (KCV) dilakukan dengan menggunakan Si Gel Merck 60 GF254, kromatografi kolom gravitasi (KKG) dengan Si Gel Merck 60 (60 – 70 mesh), dan analisis kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan pelat berlapis Si Gel Merck Kieselgel 60 F254, 0,25 mm.
Pengumpulan bahan tumbuhan.
Bahan berupa kulit batang tumbuhan kedoya dikumpulkan pada bulan Juni 2007 dari Kebun Raya Purwodadi. Tumbuhan ini telah diidentifikasi oleh staf Herbarium LIPI, Purwodadi, Pasuruan dan spesimennya disimpan di Herbarium tersebut.
Ekstraksi dan isolasi.
Kulit batang tumbuhan kedoya yang telah dikeringkan dan digiling halus (3 kg), kemudian diekstraksi dengan pelarut heksana sebanyak 3 kali. Setelah pelarut diuapkan dari ekstrak heksana pada tekanan rendah, diperoleh residu berwarna kuning kehijauan masing-masing 17,07 g; 9,01 g, dan 5,03 g (berat total ekstrak heksana sebesar 31,114 g). Ekstrak heksana sebanyak 31,114 g ini dibagi menjadi 3 bagian dengan berat masing-masing bagian kurang lebih 10; 10; dan 11,1 g (selanjutnya disebut fraksi utama I, II, dan III). Kemudian, masing-masing fraksi utama ini difraksinasi melalui kromatogafi cair vakum (KCV) berturut-turut menggunakan eluen campuran heksana-etil asetat (10/0, 9/1, 8/2, 5/5. 3/7, dan 0/10), masing-masing menghasilkan 34 fraksi. Dari 34 fraksi dari masing-masing fraksi utama ini digabung menjadi 6 fraksi gabungan dan selanjutnya disebut fraksi A (5,231 g), B (8,669 g), C (7,400 g), D (1,277 g), E (4,297 g), dan F (3,6 g).
Pemisahan berikutnya dilakukan terhadap fraksi gabungan C (7,400 g) dengan menggunakan cara dan eluen yang sama di atas, dihasilkan 18 fraksi serta digabung menjadi 5 fraksi, yaitu C1 (1 – 6), C2 (7 – 9; 6,900 g), C3 (10 – 11), C4 (12 – 17), dan C5 (18 – 28). Terhadap fraksi C3 (10 – 11) dipisahkan melalui KKG dengan eluen campuran heksana/etil asetat (95/5) dan diperoleh 74 fraksi. Atas dasar analisis KLT, ke-74 fraksi tersebut digabung menjadi 4 fraksi, yaitu fraksi C3a (1 – 10), C3b (11 – 42), C3c (43 – 62), dan C3d (63 – 74). Hasil evaporasi terhadap fraksi C3b (11 – 42) diperoleh 1,596 g dan dilanjutkan untuk dipisahkan dengan menggunakan cara dan eluen yang sama di atas dihasilkan 66 fraksi. Dari 66 fraksi ini, atas dasar analisis KLT diperoleh 2 fraksi gabungan besar, yaitu fraksi C3b1 (1 – 60) dan C3b2 (61 – 66).
Penguapan fraksi C3b1 diikuti terbentuknya suatu kristal putih dan selanjutnya direkristalisasi secara berulang-ulang dalam pelarut metanol panas, diperoleh kristal murni seberat 51 mg (disebut isolat 1). Karakterisasi berikutnya dilakukan terhadap isolat ini melalui pengukuran spektroskopi IR dan NMR.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data spektroskopi senyawa hasil isolasi (isolat 1) adalah sebagai berikut. Spektrum IR (KBr) senyawa hasil isolasi menunjukkan serapan ν maks. pada 3429 (-OH), 2936 – 2861 (CH alifatik), 1462 (C=C siklik), 1375 (-CH(CH3)2), dan 1056 cm-1. Memperhatikan pola dan jumlah sinyal pada spektrum NMR senyawa hasil isolasi diduga mengandung dua isomer dan disebut senyawa a dan senyawa b. Spektrum 13C-NMR (CDCl3, 125 MHz) senyawa a memperlihatkan sejumlah sinyal pada δC 140,9 (C-5), 121,9 (C-6), 71,9 (C-3-OH), 56,9 (C-14), 56,1 (C-17), 50,3 (C-9), 46,0 (C-24), 42,5 (C-4), 42,5 (C-13), 39,8 (C-12), 37,4 (C-1), 36,7 (C-10), 36,3 (C-20), 34,1 (C-22), 32,1 (C-7), 32,1 (C-8), 31,8 (C-2), 29,3 (C-25), 28,4 (C-16), 26,2 (C-23), 24,5 (C-15), 23,2 (C-241), 20,2 (C-11), 20,0 (C-19), 20,0 (C-26), 19,2 (C-27), 18,9 (C-21), dan 12,0 (C-242) ppm. Spektrum 13C-NMR (CDCl3, 125 MHz) senyawa b juga memperlihatkan sejumlah sinyal pada δC 140,9 (C-5), 138,5 (C-22), 129,4 (C-23), 121,9 (C-6), 71,9 (C-3-OH), 57,0 (C-14), 56,2 (C-17), 51,4 (C-240, 50,3 (C-9), 42,5 (C-4), 42,4 (C-13), 39,9 (C-12), 40,7 (C-20), 37,4 (C-1), 36,7 (C-10), 32,1 (C-7), 32,1 (C-8), 31,8 (C-2), 31,8 (C-25), 29,1 (C-16), 24,6 (C-241), 24,5 (C-15), 21,3 (C-21), 21,3 (C-26), 20,2 (C-11), 19,6 (C-19), 19,2 (C-27), 12,2 (C-18), dan 12,2 (C-242) ppm.
Disisi lain, residu dari serbuk kulit batang tumbuhan kedoya dimaserasi ke dalam pelarut metanol sebanyak 3 kali, kemudian dievaporasi pada tekanan rendah dan diperoleh ekstrak kental berwarna hijau tua (71,5 g). Selanjutnya, ekstrak kental metanol ini kembali dilarutkan dalam sedikit pelarut metanol, untuk selanjutnya dipartisi dengan kloroform sebanyak 3 kali pula. Setelah pelarut diuapkan dari porsi/bagian kloroform pada tekanan rendah, diperoleh ekstrak kloroform kental berupa residu berwarna hijau tua (30,7 g). Seluruh ekstrak kloroform ini difraksinasi sebanyak 3 kali dengan berat bagian masing-masing kurang lebih 10 g melalui KVC dengan menggunakan eluen yang sama, yaitu heksana, campuran heksana – kloroform, heksana – kloroform – metanol, dan metanol dengan tingkat kepolaran yang terus meningkat, masing-masing menghasilkan 22, 34, dan 18 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi tersebut atas dasar analisis KLT menghasilkan 4 fraksi utama, yaitu fraksi A (2,123 g), B (3,974 g), C (3,104 g), dan D. Pemisahan berikutnya dilakukan terhadap fraksi B (3,974 g) baik melalui cara/teknik KVC dan KKG menggunakan berbagai macam eluen yang sesuai diikuti proses rekristalisasi, dihasilkan suatu kristal putih sebanyak 20 mg (isolat 2). Uji karakterisasi berikutnya terhadap sampel kristal isolat tersebut meliputi uji spektroskopi IR dan NMR.
Data spektroskopi senyawa hasil isolasi adalah sebagai berikut. Spektrum IR (KBr) senyawa hasil isolasi (isolat 1) menunjukkan serapan ν maks. pada 3300,6 (-OH); 2936,0 (-CH); 1663,5 (-C=O); 1575,3; 1507,0; dan 1450,7 (-C=C); 1357,0 (-CH3); 1278,9 (=C-OH); 1216,7; 1160,4; dan 845,1 (1,4-disubstitusi benzena) cm-1. Spektrum 13C-NMR (CDCl3, 125 MHz) senyawa hasil isolasi memperlihatkan sejumlah sinyal pada δC 26,5 (1 CH3), 115,6 (2 -CH=), 131,3 (2 –CH=), 130,1 (1 –C=); 161,1 (1 –C-OH); dan 198,2 (-C=O) ppm. Pemisahan ekstrak kloroform kulit batang tumbuhan kedoya dihasilkan suatu senyawa hasil isolasi, yang diperoleh melalui beberapa tahap fraksinasi, diikuti oleh pemilihan fraksi utama berdasarkan analisis kromatogafi lapis tipis (KLT), pemurnian melalui kolom kromatografi dan rekristalisasi, serta pengukuran spektroskopi.
Suatu senyawa hasil isolasi (isolat 1) berupa kristal putih telah diperoleh dari kolom kromatografi dan rekristalisasi berulang-ulang dalam pelarut metanol panas. Dengan pereaksi Lieberman-Burchard, senyawa ini memberikan warna ungu, namun tidak memberikan pendar dibawah lampu UV baik pada panjang gelombang 254 maupun 366 nm, berarti menunjukkan suatu senyawa triterpen jenis steroid. Spektrum IR senyawa hasil isolasi ini (Gambar 1) memperlihatkan serapan pada daerah 3429, 2936 – 2861, 1462, 1375, dan 1056 cm-1 yang masing-masing menunjukkan vibrasi ulur –OH, vibrasi ulur –CH3, –CH2 dan -CH, vibrasi ikatan rangkap (C=C), vibrasi tekuk C-H dan vibrasi tekuk dari dimetil geminal [-C(CH3)2], dan vibrasi ulur C – O (Silverstein, 1981). Data dan pola serapan spektrum IR ini sebagaimana terlihat pada Gambar 1 mendukung bahwa senyawa hasil isolasi adalah suatu senyawa triterpen jenis steroid.
Gambar 1.

Gambar 2. Spektrum 13C- NMR dari Isolat 1 (Perbesaran).
Data spektrum 13C-NMR senyawa hasil isolasi (Gambar 2 ) memperlihatkan adanya 44 sinyal yang menunjukkan adanya 58 atom karbon, terdiri dari dua isomer (sebagai senyawa a dan senyawa b) dengan masing-masing senyawa mengandung 29 atom karbon. Berdasarkan data spektrum 13C-NMR senyawa hasil isolasi yang didukung oleh spektrum H-NMR (Gambar 3a dan 3b), HMQC (Gambar 4) dan DEPT-135, diketahui bahwa kedua senyawa a dan senyawa b memiliki 29 karbon yang terdiri dari 6 gugus metil (-CH3), 11 gugus metilen (-CH2-), 3 atom karbon kuaterner, dan 1 atom C-OH dengan masing-masing mengandung 8 dan 6 gugus metin (-CH-), (lihat Table 1).
Spektrum senyawa a memiliki 4 sinyal yang menggambarkan adanya 6 gugus metil, yang terletak pada daerah geseran kimia (δC ppm) 20,0 (2C); 19,2 (1C); 18,9 (1C); dan 12,0 (2C). Ada 11 buah gugus metilen (-CH2) yang mengarah kebawah (pada spectrum DEPT-135) masing-masing terletak pada daerah geseran kimia (δC ppm) 42,5; 39,8; 37,4; 34,1; 32,1; 31,8; 28,4; 26,2; 24,5; 23,2 dan 20,2. Pada geseran kimia (δC ppm) 29,3 – 56,9 terdapat 7 buah gugus metin (-CH), yaitu di daerah 29,3; 32,1; 36,3; 46,0; 50,3; 56,1; dan 56,9 serta 1 buah gugus metin ikatan rangkap (-CH=C-) pada 121,9. Spektrum ini juga menunjukkan adanya 2 buah gugus metun (karbon kuaterner, -C-) pada geseran kimia (δC ppm) 42,5 dan 36,7 dan 1 buah gugus metun ikatan rangkap (–C=) pada 140,8 ppm. Sementara itu, gugus karbinol (C-OH) ditunjukkan di daerah δC 71,9 ppm dan adanya gugus hidroksil ini didukung oleh spektrum IR dengan serapan pada 3429 cm-1. Analisis spektrum yang sama dilakukan pula untuk mengkarakterisasi senyawa b, sebagaimana terlihat pada Tabel 1 berikut. Diketahui bahwa ada sinyal pada spektrum 13C-NMR yang berbeda antara senyawa b dengan senyawa a, yaitu di daerah 138,5 dan 129,4 ppm, masing-masing menggambarkan adanya gugus –CH= untuk senyawa b dengan 34,1 (-CH2-) dan 26,2 ppm, masing-masing menggambarkan adanya gugus –CH2- untuk senyawa a. Dengan membandingkan data-data spektrum 13C-NMR antara senyawa a dan senyawa b dengan senyawa -sitosterol dan stigmasterol (Gambar 5), dapat disimpulkan bahwa senyawa a dan senyawa b adalah masing-masing -sitosterol dan stigmasterol. Sementara itu, spektrum IR senyawa isolat 2 (Gambar 6) memperlihatkan serapan pada daerah 3300,6; 2936,0; 1663,5; 1575,3; 1507,0; 1450,7; 1357,0; 1278,9; 1216,7; 1160,4; dan 845,1 cm-1. Data-data serapan IR ini masing-masing menunjukkan vibrasi ulur –OH (3300,6 cm-1), vibrasi ulur –CH (2936,0 cm-1), vibrasi ulur C=O (1663,5 cm-1), vibrasi ulur ikatan rangkap terkonjugasi dari benzena (C=C-C=C) (1575,3; 1507,0; dan 1450,7 cm-1), vibrasi tekuk C-H (1357,0 cm-1), dan vibrasi ulur C – O (1278,9 cm-1) (Silverstein, 1981).
Gambar 3. a) Spektrum 1H- NMR dari Isolat 1
Gambar 3.b) Spektrum 1H- NMR dari Isolat 1 (Perbesaran)
Tabel 1. Nilai geseran kimia dari spektrum C-NMR (δ ppm, CDCl3) dari senyawa -Sitosterol dan Stigmasterol [6] dengan senyawa a dan senyawa b.
No. C
13C- NMR ( ppm)
Jenis Karbon
-Sitosterol
Stigmasterol
Senyawa hasil isolasi
a
b
1
37,3
37,3
37,4
37,4
-CH2-
2
31,7
31,7
31,8
31,8
-CH2-
3
71,8
71,4
71,9
71,9
-C-OH
4
42,3
42,3
42,5
42,5
-CH2-
5
140,8
140,8
140,9
140,9
-C=
6
121,7
121,7
121,9
121,9
-CH=
7
32,1
32,1
32,1
32,1
-CH2-
8
31,9
31,9
32,1
32,1
-CH-
9
50,2
50,1
50,3
50,3
-CH-
10
36,5
36,5
36,7
36,7
-C-
11
20,2
20,2
20,2
20,2
-CH2-
12
39,8
39,1
39,8
39,9
-CH2-
13
42,3
42,3
42,5
42,4
-C-
14
56,8
56,9
56,9
57,0
-CH-
15
24,3
24,4
24,5
24,5
-CH2-
16
28,3
28,8
28,4
29,1
-CH2-
17
56,0
56,0
56,1
56,2
-CH-
18
11,9
12,1
12,0
12,2
-CH3
19
19,8
19,4
20,0
19,6
-CH3
20
36,2
40,5
36,3
40,7
-CH-
21
18,7
21,1
18,9
21,3
-CH3
22
34,0
138,3
34,1
138,5
-CH2-
-CH=
23
26,1
129,3
26,2
129,4
-CH2-
-CH=
24
45,8
51,3
46,0
51,4
-CH-
25
29,2
31,9
29,3
31,8
-CH-
26
19,8
21,2
20,0
21,3
-CH3
27
19,1
19,0
19,2
19,2
-CH3
241
23,1
25,4
23,2
24,6
-CH2-
242
12,0
12,3
12,0
12,2
-CH3

Gambar 4. Spektrum HMQC dari Isolat 1.
 
Gambar 6. Spektrum IR dari Isolat 2
Berdasarkan spektrum 13C-NMR senyawa isolat 2 (Gambar 7) yang didukung oleh spektrum HMQC, senyawa hasil isolasi ini memiliki 8 karbon yang terdiri dari 1 gugus metil (-CH3), 4 gugus metin (-CH-), dan 3 atom karbon kuaterner (-C=) (lihat Table 2). Spektrum senyawa hasil isolasi ini memiliki 6 sinyal yang menggambarkan adanya 1 gugus metil, yang terletak pada daerah geseran kimia (δC ppm) 26,5, empat (4) gugus metin (-CH=) terletak pada daerah geseran kimia (δC ppm) 115,6 (2 C) dan 131,3 (2 C), dan tiga (3) gugus metun (-C=) pada daerah geseran kimia 130,1; 161,1; dan 198,2 (-C=O).
Sementara itu, spektrum 1H-NMR senyawa isolat 2 (Gambar 8) memperlihatkan sejumlah sinyal proton yang menggambarkan adanya 1 gugus metil (-CH3) pada daerah 1,88 ppm, 1 gugus –OH fenol pada 6,93 ppm, 4 gugus metin (-CH=) di daerah 6,91 (2 H) dan 7,90 (2 H) ppm yang menjadi ciri dari turunan 1,4- disubstitusi benzena. Akhirnya, data spektroskopi ini mendukung bahwa senyawa isolat 2 diduga sebagai senyawa p-hidroksiasetofenon, seperti digambarkan pada Gambar 9.
Tabel 2. Nilai geseran kimia dari spektrum H- dan C-NMR (δ ppm, CDCl3) dari senyawa isolat 2
No. C
1H- NMR ( ppm)
13C- NMR ( ppm)
Jenis Karbon
1
-
161,1
=C-OH
2(6)
6,91 (d, J = 8,0 Hz)
115,6
-CH=
3(5)
7,90 (d, J = 8,0 Hz)
131,3
-CH=
4
-
130,1
-C=
7
-
198,2
-C=O
8
1,88 (s)
26,5
-CH3
=C-OH
6,93 (s)
-


KESIMPULAN
Penelitian kimia pada tumbuhan kedoya (Dysoxylum gaudichaudianum (A. Juss.) Miq.) telah dilakukan di laboratorium kami, dari penelitian ini telah ditemukan dua senyawa steroid, yaitu -sitosterol dan stigmasterol dan satu senyawa fenolik, p-hidroksiasetofenon. Sejauh ini, studi fitokimia terhadap tumbuhan dalam genus Dysoxylum belum pernah ditemukan senyawa fenolik tersebut. Untuk mengungkap lebih jauh senyawa-senyawa fenolik dan senyawa jenis lainnya guna mencari keragaman dan pola kimia senyawa-senyawa pada tumbuhan tersebut, kami masih terus melanjutkan kegiatan penelitian ini

Permasalahan :
1. Pada artikel diatas dapat disimpulkan bahwa dalam tumbuhan kedoya memiliki 2 senyawa terpenoid yaitu beta-sitosterol dan stigmasterol. Apakah bukti adanya senyawa tersebut didalam tumbuhan kedoya itu ?

2. Dalam artikel diatas disebutkan “Seluruh ekstrak kloroform ini difraksinasi sebanyak 3 kali dengan berat bagian masing-masing kurang lebih 10 g melalui KVC dengan menggunakan eluen yang sama, yaitu heksana, campuran heksana – kloroform, heksana – kloroform – metanol, dan metanol dengan tingkat kepolaran yang terus meningkat, masing-masing menghasilkan 22, 34, dan 18 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi tersebut atas dasar analisis KLT menghasilkan 4 fraksi utama, yaitu fraksi A (2,123 g), B (3,974 g), C (3,104 g), dan D.” Pertanyaannya adalah mengapa fraksi yang telah digabungkan menjadi 4 fraksi, padahal sebelumnya masing-masing memilki 22, 34, dan 18 fraksi. Factor apakah yang menjadi penggabungan fraksi tersebut?

Sabtu, 05 Oktober 2013

BIOAKTIVITAS TERPENOID PADA KULIT AKAR Kleinhovia hospita Linn. (PALIASA) SEBAGAI ANTI BAKTERI

Senyawa turunan steroid yaitu β-sitosterol telah berhasil diisolasi dari ekstrak n-heksan kulit akar tumbuhan Kleinhovia hospita L. (paliasa). Senyawa yang diperoleh diuji golongan senyawa dan dielusidasi strukturnya berdasarkan data spektroskopi IR dan dibandingkan dengan literatur. Senyawa ini juga memperlihatkan aktivitas positif terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella thypi dan Streptococcus mutans, dengan nilai daya hambat berturut-turut yaitu  14,4 ; 19,5 dan 21 mm.
Pendahuluan
Tumbuhan berkhasiat obat dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan tradisional yang diakui masyarakat dunia sebagai back to nature, untuk mencapai kesehatan yang optimal dan mengatasi berbagai penyakit secara alami (Wijayakusuma, 2000). Penemuan spesies tumbuhan baru menyebabkan makin diperlukannya konservasi, pemanfaatan dan pengembangan tumbuhan Indonesia yang berpotensi sebagai obat. Bahan obat tradisional sebagai bagian dari bahan alam merupakan bahan baku utama skrining dalam upaya menentukan komponen aktif yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat baru (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tanpa tahun).
Beberapa spesies tumbuhan tingkat tinggi yang tumbuh di hutan tropika, telah diketahui mengandung senyawa kimia dari berbagai golongan, antara lain terpenoid, fenilpropanoid, flavonoid, turunan benzofuran, dan asam fenolat, serta oligomer stilbenoid (Atun, 2005). Sejumlah senyawa oligomer stilbenoid telah dilaporkan berpotensi sebagai anti-tumor, anti inflamasi,        anti-bakteri, bersifat  kemopreventif, hepatoprotektif, dan anti HIV (Tanaka, dkk., 2000).

Hasil survei yang dilakukan oleh Heyne (1987), salah satu spesies dari famili Sterculiaceae yaitu Kleinhovia hospita Linn. (paliasa) yang tersebar secara luas di kepulauan Indonesia terutama di bagian timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Papua) serta di daerah Jawa dan Sumatra, daunnya dimanfaatkan  sebagai obat penyakit kusta, liver, hipertensi, diabetes, dan kolestrol tinggi. Oleh sebab itu   K. hospita diyakini mengandung senyawa metabolit sekunder yang memiliki bioaktivitas tertentu (Herlina, 1993).

Berdasarkan uraian di atas, eksplorasi metabolit sekunder pada fraksi n-heksan kulit akar    K. hospita yang belum diketahui senyawa murninya perlu dilakukan dan juga uji bioaktivitasnya sebagai antibakteri diuji terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella thypi dan Streptococcus mutans.

Metode Penelitian
Spektrum IR diukur dengan spektrometer IR  Perkin Elmer FT-IR (KBr). Fraksinasi menggunakan silika gel 60 (7733), silika gel 60 (7734), silika gel 60 (7730)dan analisis KLT menggunakan plat KLT.
Ekstraksi dan Isolasi. Hasil maserasi kulit akar tumbuhan K. hospita (3,2 kg) diperoleh ekstrak metanol sebanyak 59,85 gr. Maserat tersebut kemudian dipartisi secara kontinyu mulai dari pelarut non polar yaitu n-heksan, semipolar kloroform dan polar etil asetat selanjutnya diperoleh estrak     n-heksan berupa residu berwarna kuning seberat 10,58 gr, ekstrak kloroform berupa residu berwarna coklat seberat 21,16 gr dan ekstrak etil asetat berupa residu berwarna merah bata seberat 15,59 gr. Ekstrak n-heksan (10,58 gr.) difraksinasi awal melalui kromatografi kolom vakum dengan eluen n-heksan, EtOAc ; n-heksan, EtOAc, Aseton dan metanol dengan urutan kepolaran yang ditingkatkan. Pada tahap ini diperoleh 23 fraksi dengan kromatogram, dan fraksi-fraksi yang mempunyai nilai Rf sama digabungkan, sehingga diperoleh 11 fraksi utama (Ruhmah, 2008). Fraksi-fraksi tersebut diambil 3 dari 11 fraksi utama (fraksi H,I dan J), kemudian difraksinasi kembali menggunakan alat kromatografi yaitu KKV, KKT dan KKG dengan eluen n-heksan, EtOAc ; n-heksan, EtOAc, Aseton dan metanol dengan urutan kepolaran yang ditingkatkan. Setiap hasil dari fraksinasi akan dimonitor dengan analisis KLT. Dari hasil fraksinasi pada fraksi, diperoleh fraksi L (fraksi H2, H3, I2 dan J5­­) dengan berat 315,7 mg yang selanjutnya dilakukan proses pemurnian untuk memperoleh kristal murni dengan pelarut klroform;n-heksan dan metanol panas. Pada tahap identifikasi, senyawa murni yang diperoleh diuji kemurniannya dengan mengukur titik leleh dan juga analisis KLT pada tiga macam sistem eluen. Data spektroskopi untuk penetapan struktur diperoleh dengan menganalisis senyawa murni melalui alat lampu UV, IR, 1H dan  13C-NMR.

Isolat Tunggal. Berbentuk kristal putih seberat 15 mg dengan titik leleh isolat tersebut 287-288 0C dan hasil uji golongan memberikan warna biru setelah penambahan asam asetat anhidrat dan H2SO4 yang menunjukkan positif senyawa steroid. Data Spektroskopi Isolat tunggal yaitu IR (KBr) vmaks cm­­-1 : 3417 (OH), 1058 (C-O), 2956, 2935, 2866 (C-H alifatik), 1464 dan 1377 tekukan (CH2dan CH3) serta 1543 (C=C). Sedangkan Spektrum IR (KBr) pada senyawa β-sitosterol sebagai standar (Salempa, 2009) untuk membandingkan dengan Isolat tunggal. 3412 cm-1 (OH), 1049,28 cm-1 (C-O), 2956, 2935 dan 2866 cm-1 (C-H alifatik), 1462 cm-1(CH2), 1379 cm-1 (CH3) dan 1664 cm-1 menunjukkan gugus olefin (C=C).








Pince2








                                Gambar 1. Spektrum IR Isolat Tunggal dan senyawa β-sitosterol

           Tabel 1. Data spektroskopi IR untuk isolat tunggal dan  β-sitosterol (Salempa, 2009).

Isolat Tunggal (cm-1)
β-sitosterol  (cm-1)
Keterangan
3417,86
3412,08
O-H (hidroksil)
2956,87
2956,87
C-H (alifatik)
2935,66
2935,66
C-H (alifatik)
2866,22
2866,22
C-H (alifatik)
1643,35
1664,57
C=C (gugus olefin)
1464,7
1462,04
CH2 (etil)
1377,17
1379,10
CH3 (metal)
1058,92
1049,28
C-O (oksikarbon)


            Analisis spektrum IR diperoleh hasil seperti pada Tabel 1. Spektrum pada Gambar 1 tidak memperlihatkan perbedaan yang cukup jauh pada pergeseran panjang gelombang. Berdasarkan hasil dan analisis data spektroskopi IR dan KLT isolat tunggal dengan β-sitosterol yang memberikan Rf yang sama, maka isolat tunggal dapat disimpulkan sebagai β-sitosterol dengan struktur seperti pada Gambar 2 di bawah.
             


                                     Gambar 2. Struktur Isolat Tunggal (β-sitosterol)
Perlu diketahui bahwa senyawa β-sitosterol mampu menghambat kerja enzim yang mengkonversi testosterone menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan penyebab terjadinya kanker prostat (Renai Sante, 2004). Selain itu menurut Yuk (2007), β-sitosterol merupakan senyawa yang efektif digunakan dalam penyembuhan penyakit asma, sehingga memungkinkan senyawa ini untuk dikembangkan sebagai obat terapi penyakit alergi.
           
Uji Bioaktivitas Daya Hambat Isolat Tunggal (β-sitosterol) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella typhi dan Streptococcus mutans.
Uji bipoaktivitas isolate tunggal dilakukan terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella typhi dan Streptococcus mutans. Kontrol positif yang digunakan pada pengujian bioaktivitas antibakteri adalah kloramfenikol sedangkan yang digunakan sebagai kontrol negatif adalah propilen glikol. Metode yang digunakan dengan difusi agar berlapis (Kusmiati dan Agustini, 2006). Dari hasil pengukuran diameter hambatan senyawa hasil isolasi (isolat tunggal) terhadap tiga bakteri uji setelah  masa inkubasi 24 jam, diperoleh hasil seperti yang ditunjukkan Tabel 2.

Tabel 2.  Hasil pengukuran daya hambat terhadap bakteri uji
Kode
Isolat Tunggal
Rata-Rata Diameter Zona Hambatan (mm)
Staphylococcus aureus
Salmonella typhi
Streptococcus mutans
A
   Senyawa I
14,5
19,5
21
B
Senyawa II
11
18
13
C
Kontrol (+)
26.5
19
20
D
Kontrol (-)
0
0
0
C
 
C
 
D
 
B
 
B
 
A
 
A
 
Gambar4.  Hasil Uji Bioaktivitas Daya Hambat Isolat Tunggal (β-sitosterol) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhi.

 
Gambar 3. Hasil Uji Bioaktivitas Daya Hambat Isolat Tunggal (β-sitosterol) Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Staphylococcus aureus.

 
D
 










A
 
B
 
                                                              
Gambar 5. Hasil Uji Bioaktivitas Daya Hambat Isolat Tunggal (β-sitosterol) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans.

 
C
 
D
 
 






Kesimpulan.
Isolasi dari fraksi n-heksan kulit akar tumbuhan Kleinhovia hospita Linn. diperoleh senyawa          β-sitosterol yang termasuk dalam golongan steroid. Senyawa yang diperoleh dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella thypi dan Streptococcus mutans, dengan daya hambat berturut-turut 14,4 ; 19,5 ; 21 mm.

Permasalahan :
Bagaimanakah cara senyawa β-sitosterol mampu menghambat kerja enzim yang mengkonversi testosterone menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan penyebab terjadinya kanker prostat ?????