Senin, 09 Desember 2013

MID SEMESTER KIMIA BAHAN ALAM

NAMA : FRISKA DAMERIA
NIM : A1C111060
DOSEN PENGAMPU : Dr. SYAMSURIZAL, M.Si
HARI/TANGGAL : SELASA/ 03 DESEMBER 2013
WAKTU : 10.00 WIB – 10.00 WIB (10 DESEMBER 2013)

1.                  Cari diartikel tentang tehnik identifikasi dari suatu senyawa terpenoid? Mengapa dengan reagen tersebut tidak cocok untuk mengidentifikasi golongan lain seperti flavonoid, alkaloid atau fenolik lain?
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI TERPENOID
    Ekstraksi senyawa terpenoid dilakukan dengan dua cara yaitu: melalui sokletasi dan maserasi. Sekletasi dilakukan dengan melakukan disokletasi pada serbuk kering yang akan diuji dengan 5L n-hexana. Ekstrak n-hexana dipekatkan lalu disabunkan dalam 50 mL KOH 10%. Ekstrak n-heksana dikentalkan lalu diuji fitokimia dan uji aktifitas bakteri. Teknik maserasi menggunakan pelarut methanol. Ekstrak methanol dipekatkan lalu lalu dihidriolisis dalam 100 mL HCl 4M.hasil hidrolisis diekstraksi dengan 5 x 50 mL n-heksana. Ekstrak n-heksana dipekatkan lalu disabunkan dalam 10 mL KOH 10%. Ekstrak n-heksana dikentalkan lalu diuji fitokimia dan uji aktivitas bakteri. Uji aaktivitas bakteri dilakukan dengan pembiakan bakteri dengan menggunakan jarum ose yang dilakukan secara aseptis. Lalu dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 2mL Meller-Hinton broth kemudian diinkubasi bakteri homogen selama 24 jam pada suhu 35°C.suspensi baketri homogeny yang telah diinkubasi siap dioleskan pada permukaan media Mueller-Hinton agar secara merata dengan menggunakan lidi kapas yang steril. Kemudian tempelkan disk yang berisi sampel, standar tetrasiklin serta pelarutnya yang digunakan sebagai kontrol. Lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35°C. dilakukan pengukuran daya hambat zat terhadap baketri.
Uji fitokimia dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi Lieberman-Burchard. Perekasi Lebermann-Burchard merupakan campuran antara asam setat anhidrat dan asam sulfat pekat. Alasan digunakannya asam asetat anhidrat adalah untuk membentuk turunan asetil dari steroid yang akan membentuk turunan asetil didalam kloroform setelah. Alasan penggunaan kloroform adalah karena golongan senyawa ini paling larut baik didalam pelarut ini dan yang paling prinsipil adalah tidak mengandung molekul air. Jika dalam larutan uji terdapat molekul air maka asam asetat anhidrat akan berubah menjadi asam asetat sebelum reaksi berjalan dan turunan asetil tidak akan terbentuk. 
MATERI DAN METODE 
Bahan
Biji pepaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji pepaya yang berwarna putih yang diambil di daerah Kupang-NTT. Bahan kimia yang digunakan seperti metanol (teknis dan p.a), kloroform p.a, n-heksana (p.a dan teknis), asam sulfat pekat, asam asetat anhidrat, kalium bromida (KBr), silika gel GF254, silika gel 60, etilasetat p.a, eter p.a, etanol (p.a dan teknis), dan akuades. 
Peralatan
Peralatan yang digunakan adalah berbagai alat gelas, seperangkat alat kromatografi (KLT dan kolom), lampu ulta violet 254 nm dan 366 nm, spektrofotometer ultra violet -tampak, serta spektrofotometer inframerah. 
Cara Kerja
Biji pepaya yang berwarna putih dicelupkan ke dalam etanol panas kemudian dikeringkan dan dihaluskan. Sebanyak 500 g serbuk kering biji pepaya diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut n-heksana. Ekstrak yang didapat diuapkan dengan rotary vacuum evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental n-heksana. Ekstrak kental tersebut diuji fitokimia dengan pereaksi Liebermann-Burchard untuk menentukan ada tidaknya triterpenoid. Ekstrak kental positif triterpenoid dipisahkan dengan kromatografi kolom. Sebelum dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom, terlebih dahulu dilakukan pemilihan eluen dengan teknik KLT. Hasil pemisahan kromatografi kolom (silika gel 60, n-heksana : eter : etilasetat : etanol (2:3:3:2)) yang sama digabungkan dan dikelompokkan menjadi kelompok fraksi. Masing-masing kelompok fraksi tersebut diuji untuk triterpenoid. Fraksi yang positif mengandung triterpenoid dengan noda tunggal dilanjutkan dengan uji kemurnian secara KLT dengan beberapa campuran eluen. Bila tetap menghasilkan satu noda maka fraksi tersebut dapat dikatakan sebagai isolat relatif murni secara KLT. Isolat relatif murni ini kemudian dianalisis dengan Spektrofotometer Ultra violet¬tampak dan Inframerah. 
Reagen yang dipakai dalam identifikasi terpenoid adalah reagen Lieberman Burchard. Reagen ini biasa digunakan untuk mengidentifikasi secara kualitatif suatu kolesterol. Biasanya reagen Lieberman Burchard digunakan dengan cara menyemprotkan larutannya pada kolesterol yang sudah di-kromatografi-kan (TLC). Apabila mengandung Triterpenoid, maka akan memberikan warna merah sedangkan apabila mengandung Steroid, akan memberikan warna biru dan hijau. Reagen Lieberman Burchard dibuat dari Asam sulfat pekat (10 mL) dan Anhidrida Asetat (10 mL). Metanol dan Etanol dapat digunakan untuk melarutkan sampel yang akan diidentifikasi. Berikut adalah contoh senyawa yang dites dengan reagen ini:


Untuk pengujian kandungan triterpenoid dan streoid dalam sampel daun, ekstrak eter ditambahkan pereaksi Lieberman-Buchard (L-B), yaitu campuran asam asetat anhidrid dengan asam sulfat pekat (2:1).
            Indikasi positif steroid ditandai dengan perubahan warna menjadi biru atau hijau. Warna biru atau hijau bukan merupakan warna yang diserap melainkan warna komplementer. Warna yang diserap adalah warna jingga sehingga diketahui steroid menyerap pada panjang gelombang 585-647 nm. Sedangkan pada triterpenoid indikasi positif ditandai dengan perubahan warna menjadi merah, ungu atau coklat. Warna yang diserap oleh triterpenoid adalah warna hijau dengan panjang gelombang 491-570 nm. Gugus –OH pada triterpenoid akan mengalami pergeseran panjang gelombang yang diserap sehingga warna yang ditimbulkan berbeda. Jadi warna merah, ungu atau coklat adalah warna komplementer. Reaksi pembentukan warna ini dapat terjadi karena adanya gugus kromofor (gugus tak jenuh) yang disebabkan oleh absorpsi panjang gelombang tertentu oleh senyawa organik. Senyawa organik dengan konjugasi yang ekstensif menyerap panjang gelombang tertentu karena adanya transisi elektron π ke π∆ dan n ke π∆ sehingga warna yang diserap bukan warna yang tampak melainkan warna komplementernya. Jika sampel mengandung triterpenoid dan steroid sekaligus maka warna yang pertama kali timbul adalah warna triterpenoid kemudian disusul warna steroid. Hal ini disebabkan karena panjang gelombang yang diserap oleh triterpenoid lebih panjang artinya energinya lebih rendah sehingga akan muncul lebih dahulu. Hasilnya menunjukkan tebentuknya warna coklat menandakan bahwa sampel positif mempunyai triterpenoid, tetapi karena wana hijau atau biru tidak muncul ini menandakan bahwa sampel daun tidak mengandung steroid.

2.                  Dengan cara yang sama cari tehnik isolasi tentang senyawa terpenoid, jelaskan dasar ilmiah penggunaan pelarut dan tehnik-tehnik isolasi dan purifikasi. Misalnya dg pelarut etanol dilakukan kromatografi.
ISOLASI SENYAWA TERPENOID PADA HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri Linn)

Telah dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa terpenoid antibakteri dari herba meniran (Pyllanthus niruri Linn) dengan metode Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa. Ekstraksi senyawa dilakukan dengan dua cara yaitu maserasi dengan pelarut metanol dan sokletasi dengan pelarut n–heksanaa.
Hasil uji fitokimia menggunakan pereaksi Lieberman-Burchard pada ekstrak n–heksanaa hasil maserasi dan ekstrak n–heksanaa hasil sokletasi menunjukkan bahwa kedua ekstrak tersebut positif mengandung senyawa terpenoid. Hasil uji aktivitas ekstrak n–heksanaa terhadap bakteri Escherichia coli ATCC® 25292 dan Staphylococcus aureus ATCC® 25293 menunjukkan fraksi n–heksanaa hasil sokletasi memberikan daya hambat yang lebih baik. Daya hambat fraksi n–heksanaa hasil maserasi adalah 1 mm terhadap bakteri Escherichia coli dan 0,5 mm terhadap bakteri Staphylococcus aureus, sedangkan daya hambat fraksi n–heksanaa hasil sokletasi yaitu 10 mm terhadap bakteri Escherichia coli dan 12 mm terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Ekstrak n–heksanaa hasil sokletasi dimurnikan dengan menggunakan kromatografi kolom dan diidentifikasi dengan Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa. Data Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa, menunjukkan kemungkinan ekstrak n–heksanaa hasil sokletasi mengandung dua buah senyawa yaitu phytadiene [M+] 278 dan senyawa 1,2-seco-cladiellan m/z 335 [M+- H]. 

MATERI DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh bagian herba meniran segar (Phyllanthus niruri Linn) yang diperoleh dari Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Herba meniran dikeringkan kemudian diblender sampai berbentuk serbuk. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian terdiri dari metanol (p.a), asam asetat anhidrida (p.a), H2SO4 pekat, kloroform (p.a), n-heksana (p.a), benzena (p.a), KOH 10%, kalsium klorida anhidrat, HCl 4 M, kalium bromida, silika GF254, silika G60, akuades.
Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : neraca analitik, blender, labu erlenmeyer, penguap putar vakum, pipet ukur, labu ukur, corong pisah, botol reagen, kertas saring, seperangkat alat gelas, seperangkat alat kromatografi lapis tipis, kromatografi kolom, kromatografi gas-spektroskopi massa, refluks, sokhlet dan lampu ultra violet 254 nm dan 366 nm.

Cara Kerja
Ekstraksi
Ekstraksi senyawa terpenoid dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Sokletasi
Seberat 1000 g serbuk kering herba meniran disokletasi dengan 5 L pelarut n –heksana. Ekstrak n-heksana dipekatkan lalu disabunkan dalam 50 mL KOH 10%. Ekstrak n-heksana dikentalkan lalu diuji fitokimia dan uji aktivitas antibakteri.
2. Maserasi
Seberat 1000 g serbuk kering herba meniran dimaserasi menggunakan pelarut metanol. Ekstrak metanol dipekatkan lalu dihidrolisis dalam 100 mL HCl 4 M. Hasil hidrolisis diekstraksi dengan 5 x 50 mL n – heksana. Ekstrak n-heksana dipekatkan lalu disabunkan dalam 10 mL KOH 10%. Ekstrak n-heksana dikentalkan lalu diuji fitokimia dan uji aktivitas antibakteri.
Teknik-teknik dari isolasi terpenoid adalah :
1. Ekstraksi
Dalam teknik ekstraksi dilakukan dengan 2 cara , yaitu :
a. Sokletasi, menggunakan n-heksana
b. Maserasi, menggunakan methanol
2. Fraksinasi
Pada tahap ini dilajutkan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) dengan menggunakan beberapa campuran pelarut yang dilakukan terhadap ekstrak etil asetat untuk melihat komposisi dan sistem pelarut yang tepat yang akan digunakan dalam fraksinasi pada kromatografi kolom. Sistem pelarut antara lain : n-heksan : etil asetat = 2 : 1, metanol : air = 5 : 1, kloroform : metanol : air= 7 : 3 : 1. Setelah diuji hasil KLT dan diperoleh sistem pelarut- ekstrak yang tepat , selajutnya dilakukan pemisahan komponen-komponen dalam ekstrak dengan kromatografi kolom.
Pada teknik ini akan diperoleh beberapa fraksi yang mempunyai Rf yang sama, digabungkan menjadi satu fraksi.
3. Pemurnian
Fraksi yang telah dikumpulkan tadi, selajunya diuapkan kemudian dilakuakan rekristalisasi. Padatan komponen tersebut dilarutkan dengan pelarut methanol pada suhu 50o C, kemudian disaring dengan corong buchner selagi panas. Jika larutan berwarna, ditambahkan norit 1-2% dari berat padatan komponen tadi, kemudian disaring kembali dan filtratnya didinginkan dalam air es sampai terbentuk kristal.
4. Karakterisasi
kristal yang diperoleh uji kemurniannya dengan kromatografi lapis tipis dalam eluen n-heksan : etil asetat (2:1) dilanjutkan dengan pengujian titik leleh dan diidentifikasi dengan uji pereaksi Liberman – Buchard.

Dasar ilmiah pemilihan pelarut dalam teknik isolasi Terpenoid adalah :
a.  Melarutkan sempurna komponen dari minyak atsiri yang terdapat dalam tanaman.
b.  Mempunyai titik didih rendah.
c.  Tidak bercampur dengan air.
d.  Inert, tidak bereaksi dengan komponen minyak atsiri.
e.  Mempunyai satu titik didih, bila diuapkan tidak meninggalkan sisa.
f.   Harga murah.
g.  Bila mungkin tidak mudah terbakar.

3.                  Pelajari cara biosintesis suatu terpenoid. Identifikasilah sekurang-kurangnya lima jenis reaksi organic yang terkait dengan biosintesis tersebut dan jelaskan reaksinya?
Ditinjau dari segi teori reaksi organik sintesa ini hanya menggunakan beberapa jenis reaksi dasar. Reaksi-reaksi selanjutnya dari senyawa antara GPP, FPP dan GGPP untuk menghasilkan senyawa-senyawa terpenoid satu persatu hanya melibatkan beberapa jenis reaksi sekunder pula. Reaksi-reaksi sekunder ini lazimnya ialah hidrolisa, siklisasi, oksidasi, reduksi dan reaksi-reaksi spontan yang dapat berlangsung dengan mudah dalam suasana netral dan pada suhu kamar, seperti isomerisasi, dehidrasi, dekarboksilasi dan sebagainya.

Senyawa yang dihasilkan ini dengan asetil koenzim A melakukan kondensasi jenis aldol menghasilkan rantai karbon bercabang sebagaimana ditemukan pada asam mevalinat. Reaksi-reaksi berikutnya adalah fosforilasi, eliminasi asam fosfat dan dekarboksilasi menghasilkan Isopentenil pirofosfat (IPP) yang selanjutnya berisomerisasi menjadi Dimetil alil pirofosfat (DMAPP) oleh enzim isomerase. IPP sebagai unit isopren aktif bergabung secara kepala ke ekor dengan DMAPP dan penggabungan ini merupakan langkah pertama dari polimerisasi isopren untuk menghasilkan terpenoid.
4.                  Salah satu bioaktivitas terpenoid berhubungan dengan hormone laki-laki dan perempuan, jelaskan gugus fungsi yang mungkin berperan sebagai hormone baik pada testosterone dan estrogen. Misalnya pada hormone testosterone itu yang paling aktif.
Hormone testosterone merupakan hormone steroid yang androgenic. Dan estrogen merupakan hormone steroid yang bersifat anabolic.
Hubungan struktur dan aktivitas hormone androgenic :
a. Pemasukan gugus 3-keto dan 3α-hidroksi dapat meningkatkan aktivitas androgenik.
b. Gugus 17ß-hidroksi penting dalam hubungannya dengan pengikatan reseptor, oleh karena itu isomer 17ß-hidroksi lebih aktif dibanding 17α-hidroksi.
c. Testosteron, tidak dapat diberikan secara oral karena oleh bakteri usus gugus 17ß-hidroksi akan dioksidasi menjadi 17ß-keto yang tidak aktif.
Testosteron mempuyai waktu paro pendek karena cepat dapat diserap dalam saluran cerna dan cepat mengalami degradasi hepatik.
d. Adanya gugus alkil pada C17α mencegah perubahan metabolisme gugus 17ß-hidroksi sehingga senyawa dapat diberikan secara oral.
Contoh : 17α-metiltestosteron, dapat diberikan secara oral, walaupun aktivitasnya hanya ½ kali aktivitas testosterone bila dibandingkan dengan pemberian secara intramuscular.
Makin panjang rantai C gugus alkil makin menurun aktivitas andogenik dan makin meningkat toksisitasnya.
Contoh : 17α-metiltestosteron lebih aktif dibanding 17α-etiltestosteron.
e. Esterifikasi pada gugus 17ß-hidroksi dapat memperpanjang masa kerja obat. Bentuk eter bersifat lebih nonpolar, lebih mudah larut dalam jaringan lemak dan bila diberikan secara intramuscular dapat menghasilkan respons sampai 2-4 minggu.
Contoh : testosteron propionat, testosteron enantat, testosterone fenilpropionat dan testosteron dekanoat.
Testosteron propionat mempunyai awal kerja cepat dan masa kerja yang lebih pendek dibanding ester-ester lain.
f. Substitusi atom halogen menurunkan aktivitas senyawa androgenik, kecuali substitusi pada atom C4 dan C5.
Contoh : fluoksimesteron, mempunyai aktivitas androgenik 5-10 kali lebih besar dibanding testosteron.
Analog testosteron yang sering digunakan sebagai androgenik antara lain mesterolon dan metandrostenolon.
Metandrostenolon mempunyai aktivitas androgenik sama dengan testosteron.
g. Pemasukan atom C terhibridisasi sp2 pada cincin A membuat cincin menjadi lebih planar dan meningkatkan kerapatan elektron senyawa, dan hal ini akan meningkatkan aktivitas anabolik.
Contoh : oksimetolon, mempunyai aktivitas androgenik : anabolik = 1 : 2,5 dan stanozolol mempunyai aktivitas androgenik : anabolik = 1: 5
h. Hilangnya gugus metil pada C19 (19-norandrogen) juga meningkatkan aktivitas anabolik.
Contoh : nandrolon (nortestosteron) dan etilestrenol, mempunyai aktivitas androgenik : anabolik = 1: 3

Hubungan struktur-aktivitas hormone estrogen :
a. Allen dan Doissy (1923), telah dapat mengisolasi dari ekstrak ovarium wanita senyawa-senyawa turunan steroid yang mempunyai aktivitas estrogenik, yaitu estron, estriol, dan 17β-estradiol. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa 17β-estradiol mempunyai aktivitas estrogenik 3 kali lebih besar dibanding estron dan 6 kali lebih besar dibanding estriol.
17β-estradiol mudah dipecah dan menjadi tidak aktif oleh mikroorganisme dalam saluran cerna. Senyawa cepat diserap di usus dan cepat pula dimetabolisis di hati. Oleh karena itu 17β-estradiol hanya aktif pada pemberian intramuscular sedang pemberian secara oral menurunkan aktivitas secara drastis.
b. Penelitian mengenai hubungan struktur dan aktivitas menunjukkan bahwa hilangnya atom O yang terikat pada C¬3 dan C17¬, epimerisasi gugus 17β-estradiol menjadi konfigurasi 17α dan adanya ikatan rangkap pada cincin B dapat meburunkan aktivitas estrogenik.
c. Perluasan cincin D akan menurunkan aktivitas estrogenik secara drastis. D-homoestradiol dan D-homoestron mempunyai aktivitas yang lebih rendah dibanding estradiol dan estron.
d. Modifikasi struktur estron menunjukkan bahwa pemasukan gugus OH pada posisi C6, C7, dan C11 menurunkan aktivitas estrogenik. Dalam suasana basa kuat (KOH), cincin D dari estron akan pecah, membentuk asam doisinolat, yang mempunyai aktivitas estrogenik lebih besar dibandingkan estron. Hal ini menunjukkan bahwa cincin D kurang berperan dalam aktivitas estrogenik.
e. Esterifikasi gugus 17β-hidroksi atau 3-hidroksiestradiol dapat memperpanjang masa kerja obat oleh karena pada in vivo bentuk ester dihidrolisis dengan lambat melepaskan estrogen bebas secara perahan-lahan. Bentuk ester ini hanya aktif pada pemberian secara intramuskular. Contoh bentuk ester dari estradiol antara lain adalah 3-benzoat, 3,17-dipropionat, 17-valerat, dan ester 17-siklopentilpropionat (sipionat).
f. Bentuk eter estradiol memiliki kelarutan dalam lemak lebih besar, penembusan membran biologis menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan aktivitas estrogenik dan memperpanjang masa kerja obat.
Bentuk eter 2-tetrahidropiranil pada posisi 3 dan 17 dari estradiol mempunyai aktivitas estrogenik lebih kuat dibanding estradiol. 3,17-bis(2-tetrahidropirinil)-estradiol mempunyai aktivitas estrogenik yang lebih rendah dibanding estradiol karena senyawa ini memiliki kelarutan dalam lemak sangat tinggi dan praktis tidak larut dalam cairan sel, sehingga tertahan dalam membran biologis dan tidak dapat dibawa oleh cairan sel menuju reseptor.
g. Pemasukan gugus etinil pada posisi 17α dapat memperlambat proses oksidasi estradiol oleh bakteri usus karena pengaruh adanya halangan ruang, sehingga pada pemberian per oral aktivitas estrogenik 17α-etinilestradiol 15-20 kali lebih besar dibanding aktivitas estradiol, sedangkan pada pemberian intramuscular aktivitasnya sama.
h. Bentuk eter pada gugus 3-hidroksi pada 17α-etinilestradiol akan meningkatkan kelarutan dalam lemak dan memperpanjang masa kerja obat. Contoh : 17α-etinilestradiol-3-metileter (mestranol), mempunyai masa kerja lebih panjang dibanding 17α-etinilestradiol. Etinilestradiol dan mestranol banyak digunakan sebagai konrasepsi oral dikombinasi dengan hormone progestin. 17α-etinilestradiol-3-siklopentileter (kuinestrol) mempunyai kelarutan dalam lemak sangat tinggi, di tubuh membentuk depo (menumpuk) kemudian senyawa induk aktif dilepaskan secara perlahan-lahan sehingga kuinestrol mempunyai masa kerja sangat panjang, kurang lebih 1 bulan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar