Jumat, 29 November 2013

PENENTUAN STRUKTUR FLAVONOID PADA BIJI PINANG

Penelitian terhadap jenis penentuan struktur flavonoid dalam ekstrak metanol biji pinang diawali dengan uji pendahuluan untuk memastikan adanya senyawa flavonoid dalam sampel (ekstrak). Pada uji pendahuluan yang dilakukan menggunakan pereaksi serbuk seng dalam suasana asam (HCl 2 N) yang menghasilkan warna merah jingga, hal ini menunjukkan bahwa biji pinang mengandung senyawa flavonoid. Selanjutnya adalah identifikasi dengan kromatografi lapis tipis ( KLT ) menggunakan eluen n-butanol:asam asetat:air ( 4 : 1 : 5 ). Eluen ini  banyak digunakan sebagai eluen dalam pemisahan flavonoid dengan kelebihan dalam hal kemampuan isolasi terhadap flavonoid serta kecepatan pemisahan yang tinggi. Hasil elusi menunjukkan 1 noda berwarna kuning yang tampak  λ 366 nm dan dengan uap amonia. Noda yang tampak dengan sinar UV disebabkan oleh adanya gugus kromofor dalam sampel. Flavonoid menurut literatur  tampak dibawah lampu UV dengan warna  yang berfluoresensi biru, merah jambu, keputihan, jingga, kuning hingga kecoklatan. Noda flavonol yang khas tampak berwarna lembayung tua dengan sinar UV dan menjadi kuning atau hijau kuning bila diuapi NH3, didalam penelitian didapatkan noda  berwarna kuning yang tampak pada kromatografi lapis tipis sebagai senyawa flavonoid jenis flavonol. Letak noda dengan Rf sebesar 0.76, membuktikan sebagai golongan flavonol.
Memperkuat lagi dari hasil identifikasi dengan spektrofotometri dan KLT preparatif, Penentuan subtituen pada inti flavonol dilakukan dengan mengukur spektrum pada panjang gelombang 200-600 nm. Flavonoid menunjukkan spektrum khas pada pada daerah ini, terdiri dari dua puncak, yaitu pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Perbandingan data spektrum Sriningsih dkk, 2004, Penafsiran perubahan ini didasarkan pada jenis flavonoid yang disertakan untuk setiap pereaksi geser. Pereaksi geser yang digunakan adalah natrium hidroksida, natrium asetat, natrium asetat dengan asam borat, aluminium klorida, aluminium klorida dengan asam klorida.
Spektrum natrium hidroksida merupakan spektrum flavonoid yang gugus hidroksil fenolnya sampai batas tertentu dapat tereksitasi. Sehingga data spektrum ini merupakan petunjuk pola hidroksilasi yang juga bermanfaat untuk mendeteksi gugus hidroksi yang lebih asam dan tidak tersubtitusi. Degradasi atau pengurangan kekuatan spektrum setelah waktu tertentu merupakan petunjuk baik akan adanya gugus yang peka terhadap basa. Dari hasil penilitian, pada penambahan pereaksi geser NaOH terjadi pergeseran puncak pita I, dimana puncak awal 334 nm bergeser sebesar 47 nm, hal ini menunjukkan terdapat gugus OH pada kedudukan 4’ (Markham, 1988).
Spektrum natrium asetat menyababkan pengionan yang berarti pada gugus hidroksil flavonoid yang paling asam. Jadi, natrium asetat digunakan terutama untuk mendeteksi adanya gugus 7-hidroksi bebas atau setara sedangkan spektrum natrium asetat dan asam borat menjembatani kedua gugus hidroksil pada gugus o-dihidroksi dan digunakan untuk mendeteksinya. Dari hasil penilitian pada penambahan pereaksi geser natrium asetat terjadi pergeseran puncak pita I, puncak awal 334 nm bergeser sebesar 14 nm, hal ini menunjukkan terdapat gugus OH pada kedudukan 7 sedangkan pada penambahan pereaksi geser natrium asetat + asam borat terjadi pula pergeseran puncak pita I, puncak awal 334 nm bergeser sebesar 22 nm, hal ini menunjukkan terdapat gugus hidroksi yang bertetangga atau berkedudukan orto dihidroksi (Markham, 1988).
Spektrum AlCl3 dan AlCl3/HCl,karena membentuk kompleks tahan asam antara gugus hidroksil dan keton yang bertetangga dan membentuk kompleks tak tahan asam dengan gugus o-dihidroksil,pereaksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi kedua gugus tersebut Dari hasil penelitian, pada penambahan pereaksi geser aluminium klorida terjadi pergeseran puncak pita I, puncak awal 334 nm bergeser sebesar 33 nm, hal ini menunjukkan terdapat gugus OH pada kedudukan 5 dan 3’, sedangkan pada penambahan pereaksi geser aluminium klorida + asam klorida terjadi pergeseran puncak pita I, puncak awal 334 nm bergeser sebesar 43 nm ini menunjukkan terdapat gugusOH(hidroksil) pada kedudukan 5Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Biji Pinang ( Arxeca catechu L ) setelah diperiksa secara spektrofotometri UV mengandung senyawa flavonoid golongan flavonol.
Permasalahan :
Pada uji pendahuluan , ekstrak biji pinang ditambahkan pereaksi serbuk seng dalam suasana asam. Apakah kegunaan dari serbuk seng ini ? Dan mengapa harus dalam suasana asam? Apakah bisa dilakukan dalam suasana basa?

Didalam penelitian diatas digunakan pereaksi geser. Salah satunya adalah aluminium klorida dan aluminium klorida dengan asam klorida. Apakah perbedaan dari spectrum aluminium klorida dan aluminium klorida dengan asam klorida? Dan mengapa hasil dari spectrum keduanya dapat berbeda?

Minggu, 24 November 2013

METABOLISME NIKOTIN

Nicotiana tabacum atau Nikotin (C10H14N2) merupakan senyawa organic alkaloid, yang umumnya terdiri dari Karbon, Hydrogen, Nitrogen dan terkadang juga oksigen. Senyawa kimia alkaloid memiliki efek kuat dan bersifat stimulant terhadap tubuh manusia.
Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per 100 gram berat tembakau. Layaknya zat additive lainnya, nikotin terserap dalam tubuh manusia melalui : kulit, paru-paru dan mucous membranes (contoh: bagian dalam mulut, atau lapisan dalam hidung).
Setelah terserap melalui salah satu cara di atas, nikotin akan masuk ke dalam system peredaran darah menuju ke otak dan diedarkan ke seluruh system tubuh.
Proses inhalasi (contoh: merokok) adalah salah satu cara yang paling cepat bagi nikotin untuk terserap dalam darah. Saat seseorang menghisap rokok, nikotin diserap dalam tubuh (darah), diiringi dengan pelepasan adrenalin dan pemblokadean hormon insulin. Adrenalin dikenal sebagai hormon “fligh or flight”. Akibat yang ditimbulkan: detak jantung sangat cepat, tekanan darah meningkat, tarikan nafas berat dan cepat.
Setelah dalam sistem peredaran darah, nikotin dengan cepat akan sampai ke otak, bereaksi dengan sel-sel otak sehingga tercipta rasa yang disebut rasa nyaman. Dibutuhkan 5-15 detik setelah hisapan pertama bagi nikotin untuk bereaksi dalam tubuh (otak) kita. Dalam satu kali merokok, kira-kira 0,031 mg nikotin akan tertinggal dalam tubuh manusia.
Nikotin yang tertinggal dalam tubuh, diproses antara lain:
- dalam organ hati, nikotin (sekitar 80%) akan diproses menjadi kotinin (zat yang tercipta akibat metabolisme nikotin) dengan bantuan encyme CYP2A6.
- di organ paru-paru, nikotin diubah menjadi kotinin dan nikotin oksida.
- kotinin dapat dikeluarkan melalui urin dan berbau tajam. Kotinin memiliki waktu paruh 24 jam. Artinya, 24 jam setelah merokok, zat kotinin dalam tubuh akan tersisa setengahnya.
- nikotin yang tersisa dalam darah akan disaring lewat ginjal dan dikeluarkan melalui urin.
Tingkat metabolisme nikotin dalam tubuh tiap individu berbeda. Seseorang yang memiliki kelainan pada enzyme CYP2A6 akan membuat organ hati menjadi kurang efektif dalam mencerna nikotin. Akibatnya, kadar nikotin dalam darah masih berada pada level yang tinggi. Perokok dengan kelainan fungsi enzyme ini biasanya akan merasakan efek nikotin yang lebih besar dari perokok lain pada umumnya.
Dalam jangka panjang, nikotin dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, mengakibatkan  si perokok (walah sudah lama berhenti merokok), sangat rentan terhadap serangan jantung, stroke, teracuninya syaraf tubuh, meningkatnya tekanan darah, dan timbulnya penyempitan pembuluh darah tepi. Ini sebagai akibat dari rusaknya pembuluh arteri dalam darah, yang salah satu fungsinya, mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh.
Di dalam otak, sebagai respon terhadap nikotin, otak akan memerintahkan tubuh untuk membuat zat endorphin lebih banyak. Endorphin adalah senyawa protein yang lebih tepat disebut sebagai pain killer. Struktur kimia endorphin tidaklah jauh brbeda dengan painkiller kelas atas seperti morphine. Endorphin dapat membuat seseorang merasa relaks dan euphoria.
Metabolisme Nikotin Ekstra Hepatik
Hasil penelitian pada binatang membuktikan bahwa sebagian kecil metabolisme nikotin terjadi dalam organ-organ ekstra hepatik seperti misalnya paru-paru, ginjal, mukosa hidung dan otak. Demikian juga penelitian yang dilakukan pada manusia menunjukkan hal yang sama. Di samping liver, metabolisme nikotin pada manusia terjadi juga dalam sel epitel bronkial, mukosa hidung, paru, laring esofagus dan bahkan dalam jaringan payudara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya ekspresi gen CYP2A pada organ-organ terkait walaupun dalam kadar yang rendah
Akan tetapi, protein Cyp2a yang terlibat dalam metabolisme nikotin kemungkinan besar adalah Cyp2a13, sebab antibodi yang bereaksi terhadap Cyp2a6 dalam western blot dapat mengalami reaksi silang terhadap Cyp2a13. Lebih lagi, konsentrasi mRNA CYP2A13 pada mukosa hidung dan paru 5-9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi mRNA CYP2A6. Di samping CYP2A6 dan CYP2A13, masih banyak gen CYP2 yang memetabolisme sejumlah kecil nikotin diekspresikan di berbagai organ. Sebagai contoh protein Cyp2b6 dan Cyp2d6 banyak diekspresikan dalam otak, Cyp2e1 dalam paru, otak dan esofagus.
Enzim-enzim lain dalam metabolisme nikotin diekspresikan juga dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam organ-organ ekstra hepatik. Aldehid oksidase pada paru, ginjal, dan kelenjar adrenal; FMO3 juga diekspresikan pada jaringan otak, terutama dalam substansia nigra; Amin N-metiltransferase pada kelenjar tiroid, adrenal dan paru, UGT1A9 dan UGT1A4 (mengkode enzim UDP-glikoronosiltransferase) diekspresikan juga dalam lambung, jaringan empedu, ginjal, ileum, esofagus, testis, ovarium dan kelenjar mammae
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin
Ada beberapa faktor yang menyebabkan variasi interindividual pada metabolisme nikotin yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam selain faktor genetik
1. Pengaruh kondisi fisiologis tertentu
a. Diet dan Mentol
Hepar sebagai organ utama dalam metabolisme nikotin membawa implikasi bahwa metabolisme nikotin ini sangat bergantung kepada aliran darah ke dalam organ tersebut. Jadi, faktor fisiologis, seperti makan, postur, aktivitas ataupun obat-obatan yang mengganggu aliran darah menuju hepar akan mempengaruhi metabolisme nikotin. Gries et al (1996), menemukan bahwa makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan infus nikotin yang dipertahankan tetap (steady state) akan menghasilkan penurunan konsentrasinya yang konsisten dan mencapai maksimal 30-60 menit setelah makan. Setelah makan aliran darah hepar meningkat 30% dan bersihan nikotin meningkat sekitar 40%.
Menthol, zat yang banyak digunakan sebagai perasa dalam makanan, mouthwash, pasta gigi dan bahkan rokok, telah dilaporkan dapat menghambat kerja enzim Cyp2a6. Laporan mengenai hal ini telah dikonfirmasi oleh Benowitz et al (2004) lalu melalui penelitiannya yang membandingkan aktivitas Cyp2a6 pada perokok sigaret bermentol dengan non-mentol. Ia menunjukkan bahwa metabolisme nikotin menjadi cotinine dan glukoronidasi nikotin terhambat.
b. Umur
Metabolisme dan bersihan nikotin menurun seiring makin meningkatnya umur. Bersihan total menurun sebesar 23% dan bersihan oleh ginjal menurun sebanyak 49% pada orang tua (>65 tahun) jika dibandingkan dengan umur dewasa muda. Penurunan ini lebih disebabkan karena penurunan aliran darah ke hepar dibandingkan dengan penurunan aktivitas enzimnya sendiri.
c. Kronofarmakokinetik Nikotin
Selama tidur, aliran darah hepar akan menurun, demikian juga bersihan nikotin. Bersihan nikotin bervariasi sebesar 17% (dari puncak ke ambang) dengan aktivitas minimum antara jam 6 sore dan jam 3 pagi, Jadi aktivitas bersihan nikotin memiliki irama sirkadian .
d. Perbedaan Kelamin
Penelitian yang dilakukan oleh Benowitz dan Jacob (1994) menunjukkan bahwa bersihan nikotin pada pria cenderung lebih tinggi dibandingan pada wanita walaupun hasilnya tidak signifikan. Akan tetapi, penelitian yang paling akhir justru menyatakan hal yang sebaliknya yaitu bersihan nikotin pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria, terutama pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral.
2. Konsumsi obat-obatan
a. Penginduksi (inducers)
Beberapa macam obat dapat menginduksi aktivitas enzim Cyp2a6 dalam kultur hepatosit meskipun terdapat variasi yang luas antar individu. Obat tersebut di antaranya adalah rifampicin, dexamethasone, dan Phenobarbital.
b. Inhibitor
Beberapa obat seperti methoxsalen (8-methoxypsoralen), tranylcypromine, tryptamine, coumarin dan neomenthyl thiol dapat menghambat aktivitas Cyp2a6.
3. Kondisi patologis
Penyakit-penyakit tertentu telah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap aktivitas Cyp2a6. Penyakit tersebut antara lain hepatitis A, infeksi parasit pada hepar, dan alcoholic liver disease.


Permasalahan :
Dalam artikel diatas dikatakan bahwa Enzim-enzim lain dalam metabolisme nikotin diekspresikan juga dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam organ-organ ekstra hepatic. Yang menjadi pertanyaannya adalah Mengapa konsentrasi enzim harus rendah? Bagaimana jika konsentrasi enzim menjadi tinggi??

Dengan merokok, si perokok tidak akan merasa lapar. Bagaimana mekanisme kerja nikotin itu didalam tubuh sehingga si perokok tidak merasa lapar berjam-jam setelah merokok???

Senin, 18 November 2013

BIOAKTIVITAS KAFEIN

Kandungan kafein dalam kopi memiliki efek yang beragam pada setiap manusia. Beberapa orang akan mengalami efeknya secara langsung, sedangkan orang lain tidak merasakannya sama sekali. Hal ini terkait dengan sifat genetika yang dimiliki masing-masing individu terkait dengan kemampuan metabolisme tubuh dalam mencerna kafein. Metabolisme kafein terjadi dengan bantuan enzim sitokrom P450 1A2 (CYP1A2). Terdapat 2 tipe enzim, yaitu CYP1A2-1 dan CYP1A2-1. Orang yang memiliki enzim CYP1A2-1 mampu mematabolisme kafein dengan cepat dan efisien sehingga efek dari kafein dapat dirasakan secara nyata. Enzim CYP1A2-2 memiliki laju metabolisme kafein yang lambat sehingga kebanyakan orang dengan tipe ini tidak merasakan efek kesehatan dari kafein dan bahkan cenderung menimbulkan efek yang negatif.
Banyak isu yang berkembang mengenai efek negatif meminum kopi bagi tubuh, seperti meningkatnya risiko terkena kankerdiabetes melitus tipe 2, insomnia, penyakit jantung, dan kehilangan konsentrasi. Beberapa penelitian justru menyingkapkan hal sebaliknya. Kandungan kafein yang terdapat di dalam kopi ternyata mampu menekan pertumbuhan sel kanker secara bertahap. Selain itu, kafein mampu menurunkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 dengan cara menjaga sensitivitas tubuh terhadap insulin. Kafein dalam kopi juga telah terbukti mampu mencegah penyakit serangan jantung. Pada beberapa kasus, konsumsi kopi juga dapat membuat tubuh tetap terjaga dan meningkatkan konsentrasi walau tidak signifikan.Di bidang olahraga, kopi banyak dikonsumsi oleh para atlet sebelum bertanding karena senyawa aktif di dalam kopi mampu meningkatkan metabolisme energi, terutama untuk memecahkan glikogen (gulacadangan dalam tubuh).
Selain kafein, kopi juga mengandung senyawa antioksidan dalam jumlah yang cukup banyak. Adanya antioksidan dapat membantu tubuh dalam menangkal efek pengrusakan oleh senyawa radikal bebas, seperti kanker, diabetes, dan penurunan respon imun.Beberapa contoh senyawa antioksidan yang terdapat di dalam kopi adalah polifenolflavonoidproantosianidinkumarin, asamklorogenat, dan tokoferol. Dengan perebusan, aktivitas antioksidan ini dapat ditingkatkan.

Kafein
Kopi terkenal akan kandungan kafeinnya yang tinggi. Kafein sendiri merupakan senyawa hasil metabolisme sekunder golongan alkaloid dari tanaman kopi dan memiliki rasa yang pahit. Berbagai efek kesehatan dari kopi pada umumnya terkait dengan aktivitas kafein di dalam tubuh.Peranan utama kafein ini di dalam tubuh adalah meningkatan kerja psikomotor sehingga tubuh tetap terjaga dan memberikan efek fisiologis berupa peningkatan energi. Efeknya ini biasanya baru akan terlihat beberapa jam kemudian setelah mengonsumsi kopi. Kafein tidak hanya dapat ditemukan pada tanaman kopi, tetapi juga terdapat pada daun teh dan biji cokelat
Kandungan kafein dalam berbagai sumber minumanSumberKandungan KafeinSecangkir kopi85 mgSecangkir teh35 mgMinuman berkarbonasi35 mgMinuman berenergi50 mgJenis KopiKadarKopi instan2,8 - 5,0%Kopi moka1,00%Kopi robusta1,48%Kopi arabika1.10 %
Batas aman konsumsi kafein yang masuk ke dalam tubuh perharinya adalah 100-150 mg. Dengan jumlah ini, tubuh sudah mengalami peningkatan aktivitas yang cukup untuk membuatnya tetap terjaga.
Selama proses pembutan kopi, banyak kafein yang hilang karena rusak ataupun larut dalam air perebusan. Di samping itu, pada beberapa kasus pengurangan kadar kafein justru dilakukan untuk disesuaikan dengan tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa pahit dari kopi. Metode yang umum dipakai untuk hal ini adalah Swiss Water Process.Prinsip kerjanya adalah dengan menggunakan uap air panas dan uap untuk mengekstraksi kafein dari dalam biji kopi. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada era ini juga telah memungkinkan implementasi bioteknologidalam proses pengurangan kadar kafein.Cara ini dilakukan dengan menggunakan senyawa theophylline yang dilekatkan pada bakteri untuk menghancurkan struktur kafein.
Di Dalam penelitian, para peneliti menemukan bahwa sebuah kombinasi antara kafein dan satu dosis EGCG sebanyak 90 mg yang dikonsumsi tiga kali sehari dapat membantu membakar kalori tambahan sebesar 80 kalori sehari. Itupun dalam kondisi tubuh tanpa aktivitas. Sebuah studi yang diadakan oleh pemerintah Canada menemukan bahwa para pasukan yang mengkonsumsi kafein 12 jam sebelum tes latihan fisik ternyata tidak hanya mampu berlatih lebih lama sebelum keletihan, tetapi juga lebih mampu menyerap oksigen ketika berlatih. Kebutuhan oksigen tubuh terkait secara langsung terhadap kecepatan metabolisme tubuh. Jadi, semakin banyak oksigen yang Anda gunakan, semakin besar pula jumlah kalori yang Anda bakar selama latihan.
Teori  paling popular dari efek ergogenik kafein terhadap performa olahraga ini disebabkan oleh dua mekanisme utama yang terjadi di dalam tubuh  yaitu (Irawan, 2009):
1.      Kafein dapat meningkatkan proses penyerapan dan juga pelepasan ion kalsium di dalam sel-sel otot.
2.      Kafein dapat menstimulasi pengeluaran asam lemak dari jaringan adipose tubuh.

Permasalahan :
1. Orang yang memiliki enzim CYP1A2-1 mampu mematabolisme kafein dengan cepat dan efisien sehingga efek dari kafein dapat dirasakan secara nyata. Enzim CYP1A2-2 memiliki laju metabolisme kafein yang lambat. Bagaimanakah agar kerja dari enzim CYP1A2-2 bisa bekerja secara cepat  ?

2. Bagaimanakah kerja kafein dalam meningkatkan proses penyerapan dan juga pelepasan ion kalsium di dalam sel-sel otot?

Jumat, 15 November 2013

BIOAKTIVITAS FLAVONOID DALAM DAUN AKWAY


Skrining fitokimia dari daun akway

Hasil skrining pada tabel 1, menunjukkan bahwa daun akway mengandung senyawa kimia aktif antara lain alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin, yang sangat positif kuat, sedangkan senyawa fenolik yang positif artinya berpotensi sebagai bahan dasar obatobatan.

Penentuan Kadar Flavonoid

Hasil yang diperoleh dari penentuan kadar flavonoid adalah sebanyak 0,368 % menunjukkan berpotensi sebagai senyawa antibiotik, antibakteri, anti kanker, dan antibiotik. Senyawa flavonoid disintesis oleh tanaman sebagai sistem pertahanan dan dalam responsnya terhadap infeksi oleh mikroorganisme, sehingga tidak mengherankan apabila senyawa ini efektif sebagai senyawa antimikroba terhadap sejumlah mikroorganisma. Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang memiliki bermacam-macam efek antara lain efek antioksidan, anti tumor, anti radang, antibakteri dan anti virus.

Ekstraksi Flavonoid

Senyawa flavonoid diisolasi dari daun Akway (Drimysbeccariana.Gibbs) melalui tahapan penyiapan bahan, karakterisasi serbuk simplisia, penapisan fitokimia, ekstraksi, fraksinasi, pemurnian, karakterisasi dan identifikasi isolat. Penyiapan meliputi pengumpulan bahan dan pengolahan bahan menjadi serbuk simplisia. Penapisan fiktokimia meliputi pemeriksaan golongan flavonoid, alkaloid, tanin, fenolik, dan saponin. Simplisia diekstraksi menggunakan metode ekstraksi sinambung dengan alat Soxhlet. Ekstraksi dilakukan dalam tiga tahapan menggunakan pelarut dengan kepolaran meningkat. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan penguap hampa udara berputar (Evaporator). Ekstrak dipantau menggunakan kromatografi lapis tipis untuk melihat pelarut yang sesuai. Fraksinasi ekstrak etil asetat dilakukan dengan kromatografi kolom silica Gel. Fraksi yang terpilih diisolasi secara kromatografi preparatif. Isolat murni dikarakterisasi secara spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak dengan penambahan pereaksi geser. Suatu senyawa flavonoid yang telah diisolasi dari fraksi etil asetat diperoleh 4 fraksi. Dan fraksi 1 dan fraksi 2 pada uji fitokimia positif mengandung flavonoid. Fraksi dari ekstrak etil asetat Berdasarkan hasil UV-Vis maka dapat disimpulkan bahwa daun Akway mengandung senyawa flavonoid golongan flavonon yang mempunyai gugus fungsi OH terikat, CH alifatik, C=O, C=C Aromatik, C-O dan C- H aromatik.

Hasil Uji Aktivitas Antibakteri

Hasil Pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar menunjukkan bahwa ekstrak kasar daun akway menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri Escherecia Coli untuk gram negatif dan Bacillus cereus untuk gram positif. Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa aktivitas ekstrak kasar daun akway menggunakan pelarut metanol terjadi penghambatan pertumbuhan sel bakteri baik Escherecia Coli (gram negatif) dan Bacillus cereus (gram positif). Bila dilihat dari ukuran Diameter Dayay Hambat (DDH) yang muncul tampaknya aktivitas anti bakteri dari daun Akway berkekuatan sedang sampai kuat.

Menurut Elgayyar (2001), menyatakan bahwa aktivitas antibakteri dikatakan kuat jika DDH yang muncul disekitar cakram berukuran lebih dari 8 mm, sedang bila DDH 7-8 mm dan bila daerah hambatan kurang dari 7 mm dianggap lemah. Penghambatan pertumbuhan Escherecia Coli (gram negatif) dan Bacillus cereus (gram positif) sangat terpengaruh oleh konsentarasi zat aktif yang terlarut dalam ekstrak daun Akway. Dengan demikian dapat dibuktikan bahwa daun Akway mempunyai daya hambat terhadap bakteri Escherecia Coli (gram negatif) dan Bacillus cereus (gram positif), sehingga dapat dikembangkan untuk fungsi bioaktivitas yang lainnya.

C=O, C=C Aromatik, C-O dan C- H aromatik.Uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etil asetat daun Akway, pada fraksi 1 dan fraksi 2 diperoleh bahwa aktivitas antibakteri adalah sedang (6,9 mm) sampai kuat (7,3 mm). Sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan yang berfungsi bioaktivitas, misalnya sebagai antiseptik, antifungi, antipiretik dan sebagainya. Karena mempunyai daya hambatan terhadap bakteri gram positif maupun gram negative
Permasalahan:

Bagaimana cara senyawa flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherecia Coli bakteri Bacillus cereus???Manakah yang lebih mudah dihambat oleh flavonoid , apakah bakteri E. Coli atau bakteri Bacillus cereus? Mengapa demikian?

Kamis, 07 November 2013

ISOLASI ALKALOID PADA KAFEIN

Alkaloid adalah senyawa organik mirip alkali yang mengandung atom nitrogen yang bersifat basa dalam cincin heterosiklik. Karena bersifat basa, tumbuhan yang mengandung alkaloid biasanya terasa pahit.  Dari segi biogenetik, alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi mannich antara suatu aldehida dan suatu amina primer dan sekunder, dan suatu senyawa enol atau fenol. Tipe alkaloid yang digunakan adalah kafein yang diekstraksi dari Camellia sinensis sinensis.
Kafein adalah sejenis senyawa alkaloid yang termasuk golongan metilxanthine (1,3,7-trimethylxantine). Efek psikologis yang dihasilkan dapat beragam dan bisa menyebabkan ketergantungan. Kafein cukup banyak terkandung dalam the (30-75 mg/cangkir), selain itu daun teh juga mengandung tannin dan sejumlah kecil klorofil. Struktur kafein terbangun dari system cincin purin, yang secara biologis penting dan diantaranya banyak ditemukan dalam asam nukleat.
Ekstraksi Padat-Cair
Ekstraksi padat cair yang dilakukan merupakan proses pemisahan kafein padat dari larutan. Pada tahap awal, daun C. sinensis sinensis diseduh dengan air mendidih. Hal ini dimaksudkan agar kelarutan kafein dalam air meningkat. Dalam hal ini, penambahan suhu berarti penambahan kalor yang meningkatkan energi kinetik campuran sehingga lebih mudah terjadi pelarutan. Dengan ini, diharapkan, kafein yang diekstrak dapat mencapai jumlah optimum.
Keberadaan tannin dalam C. sinensis sinensis menyebabkan penambahan natrium karbonat mejadi penting. Diklorometana digunakan untuk melarutkan kafein karena sebagai pelarut senyawa organik, diklorometana melarutkan kafein lebih baik (140 mg/mL) dari pada dalam air (22 mg/mL). Selain itu, tannin dalam bentuk garam juga tidak dapat larut dalam diklorometana sehingga kafein yang dihasilkan jauh lebih murni. Setelah corong pisah diguncang dan didiamkan, akan terbentuk dua fasa utama, yaitu fasa diklorometana dan fasa air. Karena kafein larut lebih baik dalam diklorometana dan tannin tidak larut di dalmnya, maka fasa yang diambil adalah fasa diklorometana. Keberadaan emulsi, seperti yang telah disebutkan, merupakan efek samping penggaraman tannin dan pengocokan yang terlalu kuat.
Tujuan penambahan CaCl2 anhidrat adalah untuk pengikatan fasa air yang terikut sertakan pada pemisahan fasa diklorometan dan fasa air dengan menggunakan corong pisah (pengeringan). Fasa air bisa ikut serta karena dua hal. Pertama adalah karena ketidaksengajaan memasukkan fasa air atau emulsi. Kedua, adalah karena air sedikit larut dalam pelarut senyawa organik seperti diklorometan yang digunakan dalam praktikum ini. Kalsium klorida lebih banyak digunakan karena harganya lebih terjangkau. Namun, memiliki efek samping berikatan dengan senyawa oraganik yang mengandung oksigen sehingga terbentuk kompleks.
Setelah larutan ekstrak benar-benar bebas air, baru dilakukan distilasi. Pada praktikum ini digunakan distilasi sederhada karena diklorometan dan kafein memiliki titik didih yang jauh berbeda.
Pada tahap akhir, ditentukan dengan menggunakan melting block, titik leleh kafein  antara 196-198 0C. Hal ini kurang bersesuaian dengan data literatur yang menyatakan bahwa titik didih kafein adalah sekitar 178 0C. Ketidaksesuaian ini terjadi karena terdapat kontaminan lain dalam ekstrak yang memiliki titik leleh lebih tinggi. Selain itu, ekstrak juga belum benar-benar kering (masih mengandung diklorometan) karena tidak menggunakan penghisap vakum (ekstrak terlalu sedikit).

 Uji KLT
Pada kromatografi lapis tipis ini digunakan pelat alumunium dengan silika gel sebagai fasa diam dan pelarut organik, atau beberapa campuran pelarut organik sebagai fasa gerak. Ketika fasa gerak melalui permukaan silika gel, fasa gerak ini membawa analit organik melalui  partikel fasa diam. Namun, analit hanya bisa bergerak bersama pelarut jika tidak terikat pada permukaan silika gel.
Karakter elektropositif silika gel dan karakter elektronegatif oksigen membuat fasa diam silika gel sangatlah polar. Karena itu, semakin polar molekul yang akan dipisahkan, semakin kuat interaksinya dengan silika gel. Hal ini juga yang menyebabkan pemilihan pelarut non polar (diklorometan) pada percobaan ini. Pelarut nonpolar akan lebih lama berada pada fasa gerak dan jarak yang dapat ditempuhnya dapat dipastikan merupakan jarak terjauh dari kondisi awal sebelum dielusi. Karena itu, pembandingan Rf dari suatu zat yang kita cari dengan pelarut dapat dilakukan dengan baik.
Pemilihan jenis absorben sebagai fasa diam dan sistem pelarut sebagai fasa gerak haruslah dilakukan dengan tepat. Absorben dan pelarut harus dipilih sedemikian rupa agar terjadi kesetimbangan. Jika absorben mengikat semua molekul terlarut dengan kuat, maka senyawa-senyawa tersebut tidak akan turun keluar kolom. Sementara itu, jika pelarut mengikat semua molekul terlarut dengan kuat, maka senyawa-senyawa tersebut akan dengan mudah keluar dari kolom tanpa adanya pemisahan.
Penyemprotan dengan reagen dragendroff dan pengeringannya setelah proses elusi dimaksudkan untuk memberi warna pada zat organik yang kita dapat pada sampel. Hal ini perlu karena meskipun beberapa senyawa organik telah nampak berwarna, sebagian besar senyawa organik malah tidak memiliki warna dan memerlukan pewarnaan buatan untuk memudahkan pengamatan.
Selain berfungsi sebagai media analisis kualitatif, KLT juga memberikan gambaran kuantitatif kromatografik yang disebut Rf atau retardation factor atau ratio to front yang diekspresikan sebagai fraksi desimal. Secara matematis, Rf merupakan nilai perbandingan antara jarak tempuh zat dan jarak tempuh pelarut.
Berikut adalah tahapan dalam kromatografi lapis tipis ini.
1.         Sebuah garis menggunakan pinsil digambar dekat bagian bawah lempengan dan setetes pelarut dari campuran pewarna ditempatkan pada garis itu. Diberikan penandaan pada garis di lempengan untuk menunjukkan posisi awal dari tetesan. Jika ini dilakukan menggunakan ekstraksi, pewarna dari ekstrak akan bergerak selayaknya kromatogram dibentuk. Ketika bercak dari campuran itu mengering, lempengan ditempatkan dalam sebuah gelas kimia bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Perlu diperhatikan bahwa batas pelarut berada di bawah garis dimana posisi bercak berada.Alasan untuk menutup gelas kimia adalah untuk meyakinkan bawah kondisi dalam gelas kimia terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Untuk mendapatkan kondisi ini, dalam gelas kimia biasanya ditempatkan beberapa kertas saring yang terbasahi oleh pelarut. Kondisi jenuh dalam gelas kimia dengan uap mencegah penguapan pelarut. Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan, komponen-komponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada kecepatan yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak warna.
2.         Gambar menunjukkan lempengan setelah pelarut bergerak setengah dari lempengan. Pelarut dapat mencapai sampai pada bagian atas dari lempengan. Ini akan memberikan pemisahan maksimal dari komponen-komponen yang berwarna untuk kombinasi tertentu dari pelarut dan fase diam.
3.         Perhitungan nilai Rf. Pengukuran diperoleh dari lempengan untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang muncul. Pengukuran ini berdasarkan pada jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh bercak warna masing-masing. Ketika pelarut mendekati bagian atas lempengan, lempengan dipindahkan dari gelas kimia dan posisi pelarut ditandai dengan sebuah garis, sebelum mengalami proses penguapan. Pengukuran dilakukan seperti pada gambar. Nilai Rf untuk setiap warna dihitung dengan rumus berikut.
Rf =    jarak yang ditempuh oleh komponen
           jarak yang ditempuh oleh pelarut
Semakin polar senyawa yang terkandung pada larutan, semakin kuat interaksinya dengan fasa diam yang digunakan, semakin kecil nilai Rf yang dihasilkannya.
Etil asetat dan kloroform berfungsi sebagai medium fasa bergerak larutan organik, dan metanol (senyawa alkohol) berfungsi sebagai medium fasa bergerak larutan polar atau air. Larutan organik akan terkapilarisasi bersama dengan pelarut organik etil asetat atau kloroform, sedangkan jika larutan bersifat polar maka akan terkapilaritasi bersama pelarut polar (metanol). Kafein yang merupakan senyawa organik akan terkapilaritasi bersama etil asetat dan kloroform.
Terdapat beda Rf yang dihasilkan elusi menggunakan etil asetat dan kloroform. Hal ini terjadi karena keduanya memiliki beda tingkat polaritas. Dengan Rf yang lebih kecil, etil asetat memiliki tingkat polaritas yang lebih tinggi dari kloroform. Namun, pada dasarnya uji KLT ini telah membuktikan keberadaan alkaloid jenis kafein dalam sampel.
Uji Alkaloid
Pengujian alkaloid menggunakan pereaksi meyer dan dragendroff pada dasarnya menggunakan sifat dasar alkaloid yang reaktif terhadap logam berat. Dalam hal ini, pereaksi meyer mengandung logam berat Bi (bismut) dan pereaksi dragendroff mengandung logam berat Pb (timbal). Bukti keberadaan alkaloid dalam sampel terutama dengan melihat keberadaan gumpalan atau endapan setelah terjadi reaksi antara sampel dan pereaksi meyer atau dragendroff. Pada pereaksi meyer, jika terdapat alkaloid, alakaloid akan bereaksi dengan bismut sehingga menggumpal dan mengendap dalam endapan berwarna kuning. Pada pereaksi dragendroff, jika terdapat alkaloid, alkaloid akan bereaksi dengan timbal sehingga menggumpal dan mengendap dalam endapan berwarna merah tua atau merah kecoklatan.
Hasil pengamatan dari percampuran ekstrak C. sinensis sinensis dengan kedua reagen menunjukkan tingginya kadar alkaloid yang terkandung di dalam ekstrak.. Pada reaksinya dengan reagen meyer, campuran nampak keruh dan terdapat endapat kuning. Selain itu, melihat reaksinya dengan reagen dragendroff yang menunjukkan adanya reaksi pengendapan, keberadaan sifat alkaloid pada ekstrak juga semakin bisa dipastikan. Berdasarkan sifat alakloid ini dapat ditentukan bahwa yang diekstrak memang benar merupakan alkaloid tipe kafein.
Biasanya, endapan lebih mudah muncul dengan reaksi antara sampel dengan dragendroff daripada dengan meyer. Kenapa begitu? Kemungkinan itu terjadi karena dibutuhkan lebih banyak alkaloid untuk menggumpalkan logam berat jenis bismut dari pada timbal.
Ekstraksi Cair-Cair
Dalam percobaan ini digunakan asam asetat glasial yang dititrasi dengan NaOH dan digunakan indikator fenolftalein. NaOH dan asam asetat akan membentuk garam natrium asetat. Garam tersebut dapat larut dalam air. Pada penambahan eter, larutan akan terfraksi ke dalam 2 fasa, yaitu fasa air dan fasa organik. Penambahan eter 1 x 15 ml menghasilkan jumlah asam asetat yang larut dalam fasa eter lebih sedikit daripada jika dilakukan penambahan eter 3 x 5 ml, meskipun jumlah total eter yang digunakan adalah sama. Hal ini terjadi karena jumlah kontak dan probabilitas pelarutan asam asetat dalam eter menjadi lebih tinggi. Hal yang sebaliknya terjadi pada fasa air.


Permasalahan

Dari artikel diatas, dalam ekstraksi padat-cair, di dalam daun C. sinensis sinensis terdapat tannin dan kafein. Mengapa digunakan juga diklorometana dalam ekstraksi ini padahal kita tau tannin bersifat larut dalam air dan diklorometana? Bagaimana caranya agar kafein yang kita peroleh dari daun C. sintesis sintesis  lebih murni padahal yang kita tau dalam daun C. sintesis sintesis  bukan hanya ada kafein, tetapi juga ada tannin.?